MENJAGA TUBUH DARI DOSA

10:26 PM Lana 1 Comments

Oleh : Mochamad Bugi
Sumber : Dakwatuna



Maksud Hifzhul Jawarih Minadz Dzunub

Al-hifzhu berarti menjaga, memelihara. Al-jawarih berarti bagian-bagian tubuh, yaitu anggota tubuh yang ada dalam tubuh manusia baik yang tampak ataupun yang tidak tampak, yang ada di luar atau yang ada dalam tubuh, seperti tangan, kaki, telinga, mata, hidung, mulut, perut, dan hati. Ad-dzunub adalah dosa-dosa.

Jadi, maksud dari hifzhul jawarih min ad-dzunub adalah memelihara dan menjaga anggota tubuh dari segala dosa, sehingga dirinya dapat terpelihara dari maksiat dan terhindar dari azab Allah swt.


Manusia diciptakan dalam keadaan sempurna dan istimewa, tidak seperti makhluk-makhluk lain seperti malaikat, jin, setan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini difirmankan Allah swt. dalam surat At-tiin ayat 4:

لقد خلقنا الإنسان في أحسن التقويم

“Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna.”

Apa yang membuat manusia diciptakan dalam keadaan sempurna? Paling tidak ada 3 komponen yang diberikan Allah swt. kepada manusia sehingga menjadi makhluk yang sempurna, yaitu akal, ruh, dan jasad.

Tiga komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan saling menyempurnakan. Jika salah satu hilang, maka kesempurnaan manusia akan hilang. Akal yang digunakan untuk berpikir, membedakan manusia dari binatang. Karena itu, jika manusia tidak mau menggunakan akalnya dengan baik, maka tak ubahnya seperti binatang. Ruh membuat manusia mampu bergerak dan melakukan aktivitasnya. Jika ruh hilang dalam diri manusia, maka tak ubahnya seperti mayat yang terbujur kaku. Tidak bisa bergerak. Jangankan bergerak, menepis sesuatu yang menempel di tubuhnya pun tidak bisa.

Jasad juga sangat dibutuhkan dalam diri manusia. Jika ada tidak jasad, maka dirinya tidak terlihat; dan ini tak ubahnya seperti jin, setan, atau malaikat. Alangkah baik jika seperti malaikat, makhluk yang dimuliakan Allah. Namun jika seperti setan? Naudzubillah min dzalik.

Namun demikian kesempurnaan manusia adalah relatif. Dengan 3 komponen yang telah dianugerahkan Allah ini, diharapkan manusia mampu menjalankan perintah Allah dengan maksimal dan baik, bersyukur kepada Yang Maha Pemberi, dan beribadah kepada sang Khaliq.

Allah mengingatkan dalam ayat ke 5 surat At-tiin:

ثم رددناه أسفل سافلين إلا الذين آمنوا وعملوا الصالحات فلهم أجر غير ممنون فما يكذبك بعد بالدين أليس الله بأحكم الحاكمين

“Kemudian kami kembalikan mereka ke tempat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka ganjaran yang tidak terbatas. Allah tidak berdusta dengan agama. Bukankah Allah sebaik-baik Hakim?”

Allah akan menghinakan manusia karena mereka tidak mau menggunakan akal untuk memikirkan segala ciptaan Allah hingga menghasilkan iman yang dalam kepadanya. Allah juga akan menghinakan manusia yang tidak menggunakan ruhnya untuk beribadah. Allah pasti akan menghinakan manusia yang tidak menggunakan jasadnya untuk menjalankan segala kewajiban dan tidak mampu menjaga dari dosa-dosa yang dilarang.

Dalam agama ada dua bagian penting: pertama, melakukan ketaatan terhadap segala perintah Allah; kedua, menjauhi segala larangan Allah.

Perbuatan taat adalah pekerjaan yang mudah. Setiap orang mampu mengerjakannya. Tapi, meninggalkan kemaksiatan adalah perbuatan yang paling berat karena terkait dengan meninggalkan kesenangan dan keinginan, Karena itu meninggalkan kemaksiatan adalah perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali hanya oleh shiddiqun (orang-orang yang jujur) dalam beribadah dan bersungguh-sungguh dalam meninggalkan kemaksiatan.

Rasulullah saw. bersabda:

المهاجر من هجر السوء، والمجاهد من جاهد هواه

“Al-Muhajir (orang yang hijrah) adalah yang meninggalkan keburukan, dan al-mujahid (orang yang berjihad) adalah yang bersungguh-sungguh menahan hawa nafsunya.”

Makna Adz-Dzunuh dan Pembagiannya

Ad-dzunub –jamak dari kata dzanbun (dosa)– adalah balasan atau ganjaran Allah terhadap seseorang yang melakukan kemaksiatan. Jika seseorang melakukan kesalahan, maka atasnya dosa. Jika bertaubat kepada Allah, maka akan dihapus dosa tersebut. Namun jika tidak bertaubat, maka dosanya akan terus bertambah dalam hatinya dan membuat hati menjadi keras serta sulit untuk menerima kebaikan, nasihat, dan hidayah Allah.

Rasulullah saw. men-tamtsil-kan dosa seperti noktah hitam. Jika bertaubat, noktah hitam tersebut akan hapus. Namun jika dibiarkan, akan terus bertambah hitam. Para sahabat Nabi menganggap dosa –walaupun dosa dari kesalahan yang kecil– seperti gunung besar dan tinggi yang akan menimpa diri mereka.

Sementara, Imam Al-Ghazali men-tamtsil-kan dosa seperti kaca jendela yang setiap hari tertimpa debu. Jika kaca tersebut setiap hari dibersihkan, maka akan selalu tetap bersih. Namun jika dibiarkan dan tidak dibersihkan, debu akan terus bertambah dan lambat laun akan membuat kaca tertutup oleh debu sehingga cahaya matahari tidak bisa menembus kaca yang tertutup dengan debu.

Berdasarkan jenisnya, dosa dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. Dosa besar adalah dosa yang dilakukan oleh seseorang karena melakukan kemaksiatan seperti zina, memakan harta riba, syirik, menyembah kepada selain Allah, dan bersumpah palsu. Sedangkan dosa kecil yaitu dosa yang dilakukan oleh seseorrang karena melakukan kesalahan atau pelanggaran.

Sedangkan jika dibagi berdasarkan perbuatan yang dilakukan, dosa juga digolongkan menjadi dua. Pertama, dosa yang berhubungan dengan Allah; yaitu dosa karena melakukan pelanggaran atas hak-hak Allah seperti meninggalkan ibadah wajib dan tidak puasa. Dosa ini jika pelakunya bertaubat kepada-Nya, maka akan diampuni.

Kedua, dosa yang berhubungan dengan manusia; yaitu dosa yang dilakukan oleh seseorang karena melakukan kesalahan kepada orang lain seperti menyakiti dan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan. Dosa ini tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan mendapat maaf dari orang yang disakiti atau mengembalikan harta yang diambil kepada pemiliknya.

Jenis-jenis Jawarih

Al-jawarih (anggota tubuh) adalah nikmat yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Tanpa al-jawarih, kesempurnaan manusia akan hilang. Jika salah satu jawarih hilang, maka dianggap cacat.

Al-jawarih juga merupakan amanah Allah yang harus dipelihara dan tidak boleh dikhianati, tidak digunakan untuk melakukan kemaksiatan, dan harus dipelihara dari dosa. Siapa yang melanggarnya, dianggap telah melakukan kezhaliman terhadap jawarih-nya.

Setiap al-jawarih yang dimiliki oleh manusia akan menjadi saksi nanti di hari kiamat. Jawarih-nya akan berbicara di hadapan Allah guna memberikan kesaksian terhadap apa yang diperbuat oleh pemilik jawarih tersebut. Allah berfirman:

يوم تشهد عليهم ألسنتهم وأيديهم وأرجلهم بما كانوا يعملون

“Pada hari itu lisan-lisan, tangan-tangan, dan kaki-kaki mereka akan menjadi saksi terhadap apa yang mereka lakukan (di dunia).”

Allah juga berfirman:

اليوم نختم على افواههم وتكلمنا أيديهم وتشهد أرجلهم بما كانوا يكسبون

“Pada hari itu kami kunci mulut-mulut mereka. Tangan-tangan dan kaki-kaki mereka menjadi saksi terhadap apa yang mereka lakukan.”

Adapun al-jawarih yang khusus kita jaga ada tujuh, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.

Adab Hifzhul Jawarih Minadz Dzunub

Adapun adab-adab menjaga al-jawarih dari dzunub adalah sebagai berikut:

1. Adab mata

Allah berfirman:

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

“Katakanlah kepada orang-orang beriman (laki-laki) hendaknya menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, karena yang demikian itu membersihkan jiwa mereka dan sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dengan apa yang mereka lakukan. Dan katakanlah kepada wanita perempuan hendaknya mereka menjaga pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka.” (An-Nur:30-31)

Mata diciptakan untuk memberikan petunjuk dalam kegelapan, membantu pada kebutuhan-kebutuhan yang dilakukan oleh anggota tubuh lain, melihat keindahan ciptaan Allah dari langit dan bumi dan makhluk lainnya, sehingga dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah.

Memelihara mata dapat dilihat pada empat hal:

1. menggunakannya untuk melihat pada sesuatu yang tidak diharamkan;

2. menggunakannya untuk melihat pada sesuatu yang tidak mengumbar nafsu;

3. menggunakannya untuk melihat pada seorang muslim tidak dengan pandangan hina;

4. menggunakannya untuk melihat pada seorang muslim untuk tidak membuka aib.

2. Adab Telinga

Telinga diciptakan untuk mendengarkan kalam Allah, sunnah Rasulullah saw, dan ceramah-ceramah yang dapat memberikan faedah mengenal Allah swt., Raja Yang Maha Hidup dan Pemberi Nikmat Yang tiada henti.

Adapun telinga hendaknya dipelihara dari mendengar sesuatu yang bid’ah, ghibah, maksiat, batil, dan dari menceritakan aib orang lain.

3. Adab Lisan

Lisan diciptakan untuk memperbanyak menyebut nama Allah, berdzikir kepada-Nya dan membaca kitab Allah, mengajak manusia pada jalan-Nya, memvisualisasikan apa yang ada dalam hati dari kebutuhan agama dan dunia.

Jika lisan digunakan bukan pada tempatnya, maka pada hakikatnya telah mengingkari nikmat Allah. Karena, lisan adalah anggota tubuh yang sangat besar manfaatnya. Manusia tidak dimasukkan ke dalam neraka, kecuali karena lisannya.

Rasulullah saw. bersabda:

إن الرجل ليتكلم بالكلمة ليضحك بها أصحابه فيهوي بها في قعر جهنم سبعين خريفا

وروى أنه قتل شهيد في المعركة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال قائل: هنيئا له الجنة، فقال: صلى الله عليه وسلم: (وما يدريك لعله كان يتكلم فيما لا يعنيه، ويبخل بما لا يغنيه.

Diriwayatkan bahwa seseorang mendapatkan syahid dalam kancah perang pada masa Rasulullah saw, maka seseorang berkata, “Selamat baginya surga.” Rasulullah saw. bersabda, “Kalian tidak mengetahui bahwa dirinya banyak berbicara sesuatu yang tidak perlu dan kikir pada orang yang membutuhkan.”

Adapun adab menjaga lisan ada 5, yaitu:

· Jaga lisan dari berdusta

Yaitu menjaganya dari jidal dan canda, tidak membiasakan pada dusta karena dusta merupakan pangkal dosa besar.

· Jaga lisan pada janji

Jika seseorang berjanji, maka harus ditunaikan janji tersebut, kecuali karena uzdur syar’i atau darurat, namun sebisa mungkin untuk bisa menepati janji tersebut dan tidak melanggarnya; karena melanggar janji merupakan akhlak yang paling tercela dan salah satu dari sifat munafik.

Nabi saw bersabda:

ثلاث من كن فيه فهو منافق وإن صام وصلى: من إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا أؤتمن خان

“Tiga hal yang jika salah satunya ada dalam diri seseorang maka disebut munafik walaupun mendirikan shalat dan puasa: jika berbicara berdusta, jika berjanji melanggar, dan jika diberi amanah mengkhianati.”

· Tidak ghibah

Ghibah adalah menceritakan diri seseorang yang tidak disukai walaupun yang diceritakan mendengarnya, jika benar maka dirinya telah melakukan ghibah dan zhalim. Maka dari itu seseorang harus memelihara dirinya dari berbuat ghibah, karena ghibah adalah perbuatan yang tercela dan paling jahat.

Ghibah juga merupakan perbuatan yang diharamkan Allah, dan biasanya ghibah bersumber dari prasangka buruk terhadap seseorang lalu tanpa melakukan cek dan ricek terlebih dahulu diceritakan kepada orang lain. Allah swt. mengecam orang yang berghibah dan menyamakannya dengan memakan daging saudaranya yang sudah meninggal.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنْ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah akan buruk sangka, karena buruk sangka sebagiannya adalah dosa.Jangan mengintai, dan jangan ghibah sebagian kalian dengan yang lainnya, sukakah diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah meninggal, tentu kalian tidak akan menyukainya, dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.” (Al-Hujurat:12)

Cukuplah bagi seseorang memikirkan aibnya sendiri ketimbang aib orang lain, sebagaimana yang diwasiatkan Rasulullah saw.

طوبى لمن شغله عيبه عن عيوب الناس

“Beruntunglah seseorang yang sibuk dengan aibnya sendiri dari memikirkan aib orang lain.”

Allah swt. memuji orang yang menjadi perisai saudaranya dan menjaga dirinya untuk tidak menceritakan aib orang lain. Karena dirinya mampu menutupi aib orang, maka Allah akan menutupi aib dirinya. Namun jika mengumbar aib orang, maka Allah akan mengecamnya dan dibuka kehormatannya di dunia sementara di akhirat Allah akan mencelanya di hadapan semua makhluk-Nya.

· Jangan berbantah-bantahan dan jidal

Yaitu berbantah-bantahan dalam bicara di hadapan orang lain dengan tujuan menghinakan orang tersebut sambil menampakkan dirinya orang yang paling bersih, pintar, dan berwawasan luas.

Rasulullah saw. bersabda:

من ترك المراء وهو مبطل بنى الله له بيتا في ربض الجنة، ومن ترك المراء وهو محق بنى الله له بيتا في أعلى الجنة

“Barangsiapa yang meninggalkan berbantah-bantahan padahal dalam kebatilan, maka Allah akan bangunkan baginya rumah dalam surga paling bawah. Dan barangsiapa yang meninggalkan berbantah-bantahan padahal kebenaran, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga yang paling tinggi.”

· Tidak mencela ciptaan Allah

Seseorang tidak boleh mencela ciptaan Allah; seperti hewan, makanan atau manusia itu sendiri. Tidak menuduh orang pada kekafiran atau nifak; karena kufur dan nifak adalah urusan Allah dan merupakan perbuatan hati. Dan yang berhak membuka perbuatan hati adalah Allah.

Rasulullah saw. tidak pernah mencela makanan yang ada di hadapannya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a., “Rasulullah saw. sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak disukainya. Jika beliau menyukai, maka beliau memakannya; dan jika tidak, maka beliau meninggalkannya.”

4. Adab Perut

Adapun perut harus dipelihara dari memakan makanan yang haram dan syubhat. Berusahalah mencari yang halal. Bagi seseorang yang telah mendapatkan harta yang halal, maka hendaknya berusaha menggunakannya dengan sebaik-sebaiknya. Tidak memakannya hingga kekenyangan karena kekenyangan akan membuat hati keras, merusak akal, melemahkan daya ingat, membuat anggota tubuh berat untuk beribadah dan membaca Al-Quran, meninggikan nafsu syahwat dan membuka pintu setan sehingga masuk ke dalamnya.

5. Adab kemaluan

Kemaluan harus dipelihara dari hal-hal yang diharamkan Allah, sebagaimana yang difirmankan Allah swt:

وَالذَينَ هُم لِفُروجِهم حافِظون، إِلاّ عَلى أَزواجِهِم أَو ما مَلَكَت أَيمانُهُم

“Dan mereka yang memelihara farj (kemaluannya) kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak mereka.”

Pemeliharaan farj tidak akan bisa diraih kecuali dengan memelihara mata dari pandangan yang diharamkan, menjaga hati dari mengkhayal dan mengumbar syahwat, dan menjaga perut dari syubhat dan kekenyangan karena semua itu merupakan pemicu dari syahwat.

6. Adab tangan

Adapun tangan juga harus dipelihara dari melakukan tindakan yang merugikan orang lain; seperti memukul orang lain tanpa alasan yang dibenarkan, mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal, menyakiti setiap makhluk Allah, berkhianat, menulis sesuatu yang tidak dihalalkan, karena tulisan adalah pengganti lisan.

7. Adab kaki

Adapun kaki harus dipelihara dari berjalan menuju yang haram dan ke tempat yang diharamkan. Tidak menggunakannya untuk menendang atau melakukan kekerasan, dan berusaha untuk melangkahkannya ke tempat yang halal dan dibolehkan; seperti masjid, majelis taklim, berziarah ke tempat saudaranya sesama muslim, dan membantu orang lain.

Demikianlah hifhzul jawarih yang harus dipelihara oleh setiap muslim. Amal jawarih merupakan cerminan dari kondisi hati. Karena itu, jika seseorang ingin berhasil melakukan hifzhul jawarih, hendaknya memelihara hatinya agar bersih dari dosa dan kotoran. Baik dan buruknya jawarih terlihat dari kondisi hati. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw.:

ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح بها سائر الجسد، وإذا فسدت فسد بها سائر الجسد ألا وهي القلب.

“Ketahuilah dalam jasad manusia ada segumpal darah, jika baik maka akan baik pula seluruh jasadnya, dan jika rusak maka akan rusak pula seluruh jasadnya. ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati. ”



1 komentar:

AGAR PESAN SAMPAI KE HATI

10:16 PM Lana 0 Comments

Oleh : Asfuri Bahri, LC.
Sumber : Dakwatuna


Seorang pasien penderita penyakit kanker terbaring di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit yang entah rumah sakit ke berapa yang pernah disinggahinya. Dan kali ini pun hasil yang didapat tidak jauh berbeda dengan perawatan sebelumnya. Bahkan dokter yang menanganinya sempat menghampirinya. Sambil mengangkat kedua tangannya ia berkata kepada si pasien, bahwa seluruh upaya medis telah ditempuh. Karena kondisi penyakit yang sangat kritis, agaknya harapan untuk sembuh sangat tipis.

Bisa dibayangkan bagaimana reaksi pasien tersebut. Sedih, gelisah, depresi, tidak ada lagi gairah dan upaya. Berbeda halnya jika si dokter yang merawatnya itu mengatakan hal lain, kondisinya memang sangat parah, namun, menurutnya, masih ada harapan untuk sembuh. Tentu si pasien sangat bergembira mendengarnya. Kata-kata dokter itu akan mempengaruhi semangatnya untuk sembuh.


Kata-kata mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bahkan terkadang ia lebih ampuh daripada senjata. Dalam hal ini pepatah lama masih relevan, bahwa lidah lebih tajam daripada pedang. Betapa sering sebuah perang berkobar disebabkan oleh kata. Demikian pula sebaliknya, perang dapat dihentikan oleh sebuah diplomasi atau secarik kertas perjanjian damai. Seorang penulis wanita Jerman, Annemarie Schimmel, berbicara tentang kekuatan kata. “Kata yang baik laksana pohon yang baik. Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata.”

Karena kata-kata seseorang bisa bergairah, bersemangat, terhibur dari duka, seorang pasien akan mempunyai harapan sembuh oleh kata-kata dokter. Yang terkadang kondisi sesungguhnya berlawanan dengan kata-kata itu, sekadar untuk menerbitkan semangat. Juga karena kata-kata, hati yang tadinya cerah berbunga-bunga menjadi redup sedih. Tadinya optimis menjadi pesimis. Bersemangat menjadi patah arang.

Kata-kata sebagai alat yang ampuh untuk berbagai kepentingan orang. Melobi, mempengaruhi, merayu, menghina, melecehkan, membalaskan sakit hati. Dan kata orang, ia adalah senjata bermata dua. Jika kata-kata itu keluar dari orang baik dan suka melakukan perbaikan, maka dampak yang ditimbulkannya akan positif. Namun jika ia diungkapkan oleh orang jahat dan mencintai tersebarnya kejahatan di muka bumi ini, dampak yang ditimbulkannya tentu kejahatan itu sendiri sebagai produk hatinya yang jahat itu.

Seorang dai dengan tugas dakwahnya mengajak orang kepada Allah dalam taat dan ibadah kepada-Nya. Aktivitas dakwahnya sangat didominasi oleh penyampaian kata-kata. Sebab sasaran yang hendak dituju adalah akal manusia itu sendiri. Jika tujuan dakwah adalah melakukan perubahan (taghyir), maka faktor utama yang dapat mempengaruhi proses perubahan adalah akal pikiran. Dengan adanya perubahan pada tataran pemahaman dan pola pikir, maka perubahan persepsi dan tingkah laku bisa terjadi.

Penyampaian kata-kata bahkan menjadi titik tekan tugas para nabi dan rasul. Seperti yang Allah tegaskan kepada Rasulullah saw. Allah berfirman, “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).” (As-Syura: 48)

Sebagai penerus tugas para nabi dan rasul, seorang dai berdakwah menyampaikan risalah kepada manusia. Hendaknya ia selalu meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya dalam memasarkan risalah ini kepada manusia. Berbagai kajian dan petunjuk tentang kata-kata dan ceramah yang berkesan telah banyak ditulis para ulama. Namun muaranya tidak jauh berputar pada beberapa poin berikut ini:

1. Kuatnya Hubungan dengan Allah

Hubungan yang menguatkannya, yang menjadi rujukan, tempat menyandarkan diri, kepada-Nya ia mengadu, berdoa, dan berbagi. Seorang dai mengajak orang lain menuju Allah. Bagaimana mungkin ia dapat mengajak kepada sesuatu jika ia sendiri jauh dengannya dan lemah hubungannya dengan sesuatu itu. Syeikh Muhammad Ghazali menyebutkan sifat ini sebagai pilar utama seorang dai, yang tidak boleh diabaikan. Sebab jika setiap muslim berkewajiban membina hubungan baik dengan Allah, apatah lagi seorang dai.

Sejarah telah menjadi saksi bahwa tidak ada seorang nabi pun atau pelaku perbaikan kecuali ia mempunyai hubungan yang kuat dengan Allah. Jalinan mereka dengan Allah sangat kuat, hidup, dan selalu segar. Tidak pernah putus barang sekejap pun dan tidak pernah layu. Terlihat dalam aktivitas kesehariannya, saat bersama orang lain terlebih saat sendiri. Syeikh Abdurrahman As-Sa’ati, ayah Imam Syahid Hasan Al-Banna mengisahkan kegiatan anaknya ketika berada di rumah,

“Di antara akhlaqnya adalah berpaling dari banyak orang dan hanya menyendiri bersama Rabbnya, tidak ada yang tahu selain keluarga dekatnya saja. Di rumahnya –Allah yang menjadi saksi- tidak pernah lepas dari mushaf, tidak berhenti membaca, tidak pernah lalai dari zikir, ia membaca Al-Qur’an memperdengarkan bacaannya kepada salah seorang hafizh di antara kami. Jika tidak ada seorang hafizh kecuali anak kecil, ia pun muraja’ah hafalannya dengan anak itu. Rumahnya penuh dengan bacaan Al-Qur’an, sujud, larut dalam dzikir, dan mendaki ke ketinggian langit spiritual. Ketika ia tahu cara Nabi membaca Al-Qur’an maka ia praktekkan, termasuk waqaf-waqaf di mana Rasulullah berhenti, ia pun berhenti. Terkadang badannya gemetaran, hatinya penuh ketakutan, gelisah pada ayat-ayat ancaman, terhadap ayat-ayat gembira ia berbinar-binar, jauh dari suasana di mana ia hidup, jauh terbawa makna ayat-ayat itu.”

Dan semua orang yang pernah mendengar pidatonya mengakui, betapa Imam Syahid mempunyai kata-kata yang sangat kuat. “Jika ia berpidato, kata-katanya mengalir seolah-olah turun dari langit.” Kata seseorang yang pernah menghadiri ceramahnya.

2. Selalu Memperbaiki Diri

Setiap muslim wajib memperbaiki diri dari segala kekurangan. Apalagi seorang dai. Boleh jadi ini merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan Allah. Sebab siapa yang mengingat Allah ia akan teringat akan semua dosa dan kekurangan dirinya serta menyadari semua aib pribadinya. Berbeda halnya dengan orang yang lalai dari zikir. Ia pun akan lalai kepada Allah bahkan lalai kepada dirinya sendiri. Ia berjalan tanpa arah dan petunjuk. Allah berfirman,

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr:19)

Sangat berbahaya jika seorang dai mengajak orang melakukan sesuatu sementara dirinya sendiri jauh darinya. Atau mencegah orang dari melakukan sesuatu ia sendiri belum bisa terlepas darinya. Jika demikian, maka seruan dakwah yang dikumandangkannya tak nyaring lagi. Seseorang berkata, “Kalau saya melihat seorang dai merokok, kepercayaan saya kepadanya berkurang dua puluh lima persen.”

Bahkan, tidak hanya ajakannya yang diabaikan orang, ia bisa mendapatkan murka dari Allah.

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (As-Shaff:3)

Tentu saja hal ini tidak dipahami secara tidak konstruktif, dengan menyibukkan diri sendiri serta tidak peduli kepada perbaikan sekitarnya. Aslih nafsaka wad’u ghairaka (perbaiki dirimu dan ajaklah orang lain), begitu kata orang.

3. Kecerdasan Akal, Kebersihan Hati, dan Pemahaman yang Dalam tentang Islam

Sifat ini hendaknya menjadi watak seorang dai. Yang dengan demikian ia bisa menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Menimbang persoalan dengan timbangan yang benar dan tidak memihak. Dalam bahasa dakwah hal ini bisa disebut sebagai hikmah. Seperti yang Allah firmankan,

“Allah menganugerahkan Al hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar Telah dianugerahi karunia yang banyak. dan Hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah:269)

Menurut Muhammad Al-Ghazali, kecerdasan yang dimaksud, seseorang tidak perlu menjadi jenius. Namun hanya dengan memiliki kemampuan melihat suatu permasalahan apa adanya. Tidak menambah maupun mengurangi. Dengan cara pandang seperti ini seorang dari dapat mendiagnosa sebuah persoalan dengan baik dan pada gilirannya bisa memberikan terapi yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dihadapinya. Kata-kata yang disampaikannya menjadi tepat sasaran.

Dengan kemampuan seperti inilah Rasulullah terlihat menyampaikan nasihat yang berbeda-beda, melihat kondisi dan latar belakang psikologis seseorang yang konsultasi kepada beliau. Suatu saat beliau hanya mengatakan, “Janganlah kamu marah.” Dan Jariyah bin Qudamah, orang yang bertanya itu pun puas dengan jawaban beliau. Bahkan menurut riwayat Thabrani, pahalanya surga, seperti yang beliau sabdakan, “Janganlah kamu marah, maka akan mendapat surga.” Suatu saat beliau hanya mengatakan, “Katakan, aku beriman kepada Allah. Lalu istiqamahlah.”

Kebersihan hati yang dimaksud tentu bukannya kebersihan hati yang setaraf dengan para malaikat. Cukuplah bagi seorang dai memiliki hati yang penuh cinta kepada manusia, cemburu kepada mereka, lembut dan tidak kasar memperlakukan mereka. Ia senang dengan kebaikan mereka dan bukannya senang melihat kesengsaraan mereka. Di hadapannya maupun tidak sikapnya selalu sama. Senantiasa berharap atas kebaikannya. Sehingga antara hatinya dan hati mereka terhadap tali yang menghubungkan. Ketulusan cintanya melahirkan getar saat tangannya berjabat, mulutnya berucap, dan matanya menatap. Doa yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan mereka membuat nama-nama mereka selalu hadir dalam hidupnya. Sehingga ketika bertemu, pertemuan itu pun terasa hangat dirasakan oleh mereka.

Kejelasan pemahaman dimiliki karena penguasaannya terhadap konsep universalitas Islam. Hal ini membuatnya mampu mengidentifikasi setiap persoalan. Ia dapat membedakan mana yang bisa dikategorikan sebagai persoalan aqidah dan mana yang bukan. Dengan hal ini pula seorang dai dapat berinteraksi dengan semua lapisan masyarakat dan dapat melihat kekurangan serta kelebihan mereka. Ia juga memiliki skala prioritas dalam dakwahnya.

Dalam menyikapi berbagai perpecahan madzhab dan aliran di Mesir, Hasan Al-Banna dengan Ikhwannya mempunyai sikap yang jelas. “Karena Ikhwan meyakini bahwa perbedaan dalam hal-hal furu’ adalah sebuah keniscayaan. Harus terjadi. Sebab prinsip-prinsip Islam yang berupa ayat-ayat, hadits, amal Nabi bisa dipahami secara berbeda. Oleh karenanya perbedaan semacam ini juga terjadi di kalangan para sahabat. Dan perbedaan itu terus terjadi sampai hari Kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ra saat ia berkata kepada Abu Ja’far yang ingin memaksa orang mengikuti buku Al-Muwattha’, “Para sahabat Rasulullah berpencar di negeri-negeri. Masing-masing kaum mempunyai ilmu. Jika Anda memaksa mereka kepada satu ilmu, akan terjadi fitnah.” Tidak ada salahnya dengan perbedaan, namun yang salah adalah sikap fanatik terhadap pendapat tertentu dan menutup diri dari pendapat orang lain. Cara pandang semacam ini dapat menyatukan hati yang bersengketa ke dalam kesatuan fikrah. Cukuplah orang-orang bersatu menjadi muslim sebagaimana yang dikatakan Zaid r.a. Pandangan seperti ini sangat penting dimiliki sebuah jamaah yang ingin menyebarkan fikrah pada suatu negeri di mana yang dilanda sebuah konflik tentang masalah yang tidak semestinya diperdebatkan.”

4. Keikhlasan

Keikhlasan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi setiap muslim dalam ibadahnya kepada Allah. Sebab ia sebagai syarat diterimanya ibadah. Ibnu Atha’illah berkata, “Amal perbuatan merupkan tubuh yang tegak. Sedangkan ruhnya adalah adanya rahasia di balik amal yang berupa keikhlasan.” Terlebih lagi bagi seorang dai dan aktivis. Aktivitas dakwahnya adalah sebaik-baik amal dan sarana taqarrub kepada Allah, tentu keikhlasan menjadi lebih urgen lagi. Seorang dai hendaknya menjauhkan kepentingan pribadi yang berupa sebutan, imbalan, dan pengaruh pribadi karena aktivitas dakwahnya.

Keikhlasan tentu saja ada buahnya. Aktivitas dakwah yang dilandasi dengan keikhlasan tentu berbeda hasilnya dengan yang dilakukan karena pamrih. Bersamaan dengan kata-kata yang diucapkan, interaksi yang dilakukan, dan kegiatan yang dilaksanakan seorang dai selalu menambatkan hatinya kepada Dzat yang menguasai dan membolak-balikkan hati. Kata orang Arab, “Kata-kata yang keluar dari hati akan sampai kepada hati pula.”

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima selain kebaikan.” Bagi seorang dari, kebaikan yang hendak dipersembahkan kepada Allah adalah keyakinannya terhadap keutamaan dakwahnya dan harapannya yang ditambatkan kepada ridha Allah semata.

5. Keluasan Wawasan

Dakwah di zaman modern sekarang ini harus didukung oleh keluasan wawasan. Karena seorang dai bertugas mengarahkan dan membimbing manusia dengan segala strata sosial dan intelektual mereka. Ia berbicara dengan dokter, pasien, guru, pegawai, kuli, insinyur, pedagang, orang pintar, dan orang bodoh. Mestinya ada penguasaan wawasan yang dapat memasuki pola pikir mereka semua.

Tidak harus menguasai semua disiplin ilmu secara mendalam, namun wawasan global tentang berbagai persoalan hendaknya dipahami. Kecuali wawasan keislaman yang secara asasi harus dikuasai. Pemahaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah serta wawasan keislaman lain; budaya Islam, sejarah Islam, dan lain-lain. Oleh karena itulah Imam Syahid Hasan Al-Banna memberikan tekanan khusus kepada sisi ini dan itu sebagai salah satu karakter dakwahnya. Bahwa dakwah Ikhwan juga bercirikan Jamaah Ilmiyah Tsaqafiyah (organisasi ilmu pengetahuan dan wawasan). Dan semua sarana yang dimilikinya pada dasarnya untuk membina intelektual, hati, dan jasad para anggotanya.

Keluasan wawasan yang dimiliki seorang dai membuatnya mampu menemukan ‘pembuka hati’ bagi orang-orang yang menjadi objek dakwahnya. Ketika berkomentar tentang wawasan Abu Bakar yang paling tahu tentang nasab suku Quraisy dan paling tahu tentang apa yang baik dab buruk mereka, Munir Muhammad Al-Ghadhban berkata, “Pengetahuan tidak kalah penting daripada akhlaq. Yang dituntut dalam masalah ini bukan segala macam pengetahuan. Tetapi pengetahuan mengenai masyarakat dan kecenderungan-kecenderungannya. Pengetahuan yang menjelaskan karakteristik jiwa manusia. Pengetahuan inilah yang akan memberikan daya gerak kepada dai yang merupakan pintu masuk ka hati mad’u. Setiap hati memiliki ‘kunci’, dan tugas seorang dai adalah untuk mendapatkan kunci itu agar ia bisa memasuki hatinya lalu hati itu menyambutnya.”

6. Menguasai Metodologi Komunikasi

Sebab ada pepatah Arab mengatakan, likulli maqam maqal (bagi masing-masing momen ada ungkapannya). Dan masing-masing orang memiliki kecenderungan terhadap satu bentuk komunikasi tertentu. Ada yang suka dengan gaya bicara yang berapi-api. Ada yang tertarik dengan ceramah yang banyak ‘lawak’nya. Ada pula yang tidak suka terhadap hal-hal yang monoton dan serius dan ia lebih suka kalau ceramah banyak diselingi ilustrasi. Kemampuan memilih model komunkasi yang tepat akan menjadi daya tarik yang dapat menggait hati. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya kejelasan (komunikasi) adalah sihir.”

Al-Bahi Khauli merekomendasikan kepada seorang dai agar menggunakan beberapa metodologi dalam aktivitas dakwah yang dilakukannya. Di antaranya adalah:

1. Kisah: karena dengan kisah sesuatu yang bersifat normatif bisa lebih mudah dipahami. Karena nilai-nilai itu berubah menjadi kaki yang berjalan, tangan yang bergerak, dan mulut yang berucap. Barangkali inilah di antara rahasia Al-Qur’an yang menggunakan metode kisah sebagai salah satu sarananya. Agar Islam dapat dipahami sebagai agama yang realistis dan tidak hanya bersifat kelangitan tanpa bisa diterapkan dalam kehidupan nyata. Terbukti para pelaku sejarah itu mampu melakukannya. Di samping ia juga menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman.

2. Perumpamaan: karena dengan perumpamaan dapat mendekatkan yang jauh dan menjelaskan yang buram, juga menentukan kadar sesuatu yang abstrak. Al-Qur’an dan hadits sendiri seringkali menggunakan perumpamaan sebagai sarana menjelaskan kepada kaum Muslimin tentang ajaran Islam. Tentang hakikat amal perbuatan orang-orang kafir Allah berfirman, ”Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (An-Nur:39)

3. Perbandingan: dan tujuannya adalah untuk menjelaskan kadar keterpautan sebuah nilai. Dalam salah satu sabdanya Rasulullah bersabda, “Shalat berjamaah lebih mulia daripada shalat sendiri dengan selisih dua puluh tujuh derajat.” Juga sabda beliau, “Perbandingan antara orang berilmu dan yang tidak berilmu seperti perbandinganku dengan sahabatku yang paling rendah (pengetahuannya.”

6. Berdoa

Setelah seluruh upaya dan sarana dikerahkan untuk menggait orang menuju Allah dalam aktivitas dakwah, seorang dai tidak boleh menyandarkan hasil kepada kemampuan dan upayanya. Upaya itu harus dikembalikan kepada Allah yang menguasai hati dan pikiran. Ini akan menjaganya dari sikap ghurur apabila dakwahnya mendapatkan kemenangan dan menjauhkannya dari berputus asa jika menemui kegagalan. Sebab ia yakin, seberapa hebat sarana yang dikuasainya, ia hanyalah senjata bisa mengenai sasaran dan bisa tidak. Doa juga dapat menutupi segala kekurangan dan kelemahannya. Sebab tidak ada orang yang memiliki semua dan menguasai segalanya secara ideal. Adakalanya seseorang memiliki kelebihan pada satu sisi, namun ia juga memiliki kekurangan pada sisi lain. Dan berdoa adalah ibadah. Adalah senjata seorang mukmin di saat senjata lain tidak mempan. Ketajaman doa dapat menembus sesuatu yang tidak bisa ditembus senjata biasa.

7. Selanjutnya, Hidayah dari Allah

Karena dai hanya menyeru dan menggerakkan potensi yang diberikan Allah. Selanjutnya hasilnya dikembalikan kepada Allah. Sebuah kegagalan, selain harus disikapi secara proporsional dengan melakukan evaluasi aktivitas dakwah dan motivasi amal da’awi, tentu harus dikembalikan kepada kehendak Allah yang berhak memberi hidayah atau tidak memberi. Dan tentu saja tidak berhenti di situ. Optimisme harus selalu ditanamkan dalam diri seberat apapun medan dakwah yang dilalui. Sebab perjalanan belum berakhir. Hidup manusia tidak berhenti sampai di sini. Masih ada harapan untuk berubah dan kembali ke jalan yang benar.

Dengan pemahaman inilah kita tidak pernah menganggap Nabi Nuh gagal dalam dakwahnya. Luth gagal. Shalih gagal. Sebab semua sarana dan prasarana telah dikerahkan untuk mengetuk pintu hati mereka. Rasulullah juga tidak pernah gagal ketika berambisi agar paman tercinta Abu Thalib mendapatkan hidayah. Karena “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash:56)

Kegagalan adalah jika si dai itu sendiri terhapus pahala aktivitas dakwahnya karena dosanya atau is sendiri terpental dari aktivitas dakwah, melempar handuk untuk meninggalkan kancah pertarungan. Lalu ia hanya duduk-duduk bersama ‘qa’idin’. Semoga Allah mengokohkan kaki kita dengan kata-kata-Nya yang tetap. Wallahu A’lam.

0 komentar:

DENGKI PENGHANCUR KEBAIKAN

10:06 PM Lana 0 Comments

Sumber : Dakwatuna.Com

Rasulullah saw. bersabda, “Hindarilah dengki karena dengki itu memakan (menghancurkan) kebaikan sebagaimana api memakan (menghancurkan) kayu bakar.” (Abu Daud).

Dengki (hasad), kata Imam Al-Ghazali, adalah membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain dan ingin agar orang tersebut kehilangan kenikmatan itu. Dengki dapat merayapi hati orang yang merasa kalah wibawa, kalah popularitas, kalah pengaruh, atau kalah pengikut. Yang didengki tentulah pihak yang dianggapnya lebih dalam hal wibawa, polularitas, pengaruh, dan jumlah pengikut. Tidak mungkin seseorang merasa iri kepada orang yang dianggapnya lebih “kecil” atau lebih lemah. Sebuah pepatah Arab mengatakan, “Kullu dzi ni’matin mahsuudun.” (Setiap yang mendapat kenikmatan pasti didengki).


Hadits itu menegaskan kepada kita bahwa dengki itu merugikan. Yang dirugikan bukanlah orang yang didengki, melainkan si pendengki itu sendiri. Di antara makna memakan kebaikan, seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, dijelaskan dalam kitab ‘Aunul Ma’bud, “Memusnahkan dan menghilangkan (nilai) ketaatan pendengki sebagaimana api membakar kayu bakar. Sebab kedengkian akan mengantarkan pengidapnya menggunjing orang yang didengki dan perbuatan buruk lainnya. Maka berpindahlah kebaikan si pendengki itu pada kehormatan orang yang didengki. Maka bertambahlah pada orang yang didengki kenikmatan demi kenikmatan sedangkan si pendengki bertambah kerugian demi kerugian. Sebagaimana yang Allah firmankan, “Ia merugi dunia dan akhirat.” (‘Aunul Ma’bud juz 13:168)

Hilangnya pahala itu hanyalah salah satu bentuk kerugian pendengki. Masih banyak kebaikan-kebaikan atau peluang-peluang kebaikan yang akan hilang dari pendengki, antara lain:

Pertama, mengalami kekalahan dalam perjuangan. Orang yang dengki perilakunya sering tidak terkendali. Dia bisa terjebak dalam tindakan merusak nama baik, mendiskreditkan, dan menghinakan orang yang didengkinya. Dengan cara itu ia membayangkan akan merusak citra, kredibilitas, dan daya tarik orang yang didengkinya. Dan sebaliknya, mengangkat citra, nama baik dan kredibilitas pihaknya. Namun kehendak Allah tidaklah demikian. Rasulullah saw. bersabda:

Dari Jabir dan Abu Ayyub Al-Anshari, mereka mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorang pun yang menghinakan seorang muslim di satu tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menghinakan orang (yang menghina) itu di tempat yang ia inginkan pertolongan-Nya. Dan tidak seorang pun yang membela seorang muslim di tempat yang padanya ia dinodai harga dirinya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan membela orang (yang membela) itu di tempat yang ia menginginkan pembelaan-Nya.” (Ahmad, Abu Dawud, Ath-Thabrani)

Kedua, meruntuhkan kredibilitas. Ketika seseorang melampiaskan kebencian dan kedengkian dengan melakukan propaganda busuk, hasutan, dan demarketing kepada pihak lain, jangan berangan bahwa semua orang akan terpengaruh olehnya. Yang terpengaruh hanyalah orang-orang yang tidak membuka mata terhadap realitas, tidak dapat berpikir objektif, atau memang sudah “satu frekuensi” dengan si pendengki. Akan tetapi banyak pula yang mencoba melakukan tabayyun, cari informasi pembanding, dan berusaha berpikir objektif. Nah, semakin hebat gempuran kedengkian dan kebencian itu, bagi orang yang berpikir objektif justru akan semakin tahu kebusukan hati si pendengki. Orang yang memiliki hati nurani ternyata tidak senang dengan fitnah, isu murahan, atau intrik-intrik pecundang. Di mata mereka orang-orang yang bermental kerdil itu tidaklah simpatik dan tidak mengundang keberpihakan.

Orang yang banyak melakukan provokasi dan hanya bisa menjelek-jelekkan pihak lain juga akan terlihat di mata orang banyak sebagai orang yang tidak punya program dalam hidupnya. Dia tampil sebagai orang yang tidak dapat menampilkan sesuatu yang positif untuk “dijual”. Maka jalan pintasnya adalah mengorek-ngorek apa yang ia anggap sebagai kesalahan. Bahkan sesuatu yang baik di mata pendengki bisa disulap menjadi keburukan. Nah, mana ada orang yang sehat akalnya suka cara-cara seperti itu?

Ketiga, mencukur gundul agama. Rasulullah saw. bersabda, “Menjalar kepada kalian penyakit umat-umat (terdahulu): kedengkian dan kebencian. Itulah penyakit yang akan mencukur gundul. Aku tidak mengatakan bahwa penyakit itu mencukur rambut, melainkan mencukur agama.” (At-Tirmidzi)

Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Akan tetapi Islam yang dibawa oleh orang yang di dadanya memendam kedengkian tidak akan dapat dirasakan rahmatnya oleh orang lain. Bahkan pendengki itu tidak mampu untuk sekadar menyungging senyum, mengucapkan kata ‘selamat’, atau melambaikan tangan bagi saudaranya yang mendapat sukses, baik dalam urusan dunia maupun terkait dengan sukses dalam perjuangan. Apatah lagi untuk membantu dan mendukung saudaranya yang mendapat sukses itu. Dengan demikian Islam yang dibawanya tidak produktif dengan kebaikan alias gundul.

Keempat, menyerupai orang munafik. Perilaku dan sikap pendengki mirip perilaku orang-orang munafik. Di antara perilaku orang munafik adalah selalu mencerca dan mencaci apa yang dilakukan oran lain terutama yang didengkinya. Jangankan yang tampak buruk, yang nyata-nyata baik pun akan dikecam dan dianggap buruk. Allah swt. menggambarkan perilaku itu sebagai perilaku orang munafik. Abi Mas’ud Al-Anshari –semoga Allah meridhainya– mengatakan, saat turun ayat tentang infaq para sahabat mulai memberikan infaq. Ketika ada orang muslim yang memberi infaq dalam jumlah besar, orang-orang munafik mengatakan bahwa dia riya. Dan ketika ada orang muslim yang berinfak dalam jumlah kecil, mereka mengatakan bahwa Allah tidak butuh dengan infak yang kecil itu. Maka turunlah ayat 79 At-Taubah. (Bukhari dan Muslim)

Benarlah ungkapan seorang ulama salaf: “Al-hasuudu laa yasuud (pendengki tidak akan pernah sukses).” (Kasyful-Khafa 1:430).

Kelima, tidak mampu memperbaiki diri sendiri. Orang yang dengki, manakala mengalami kekalahan dan kegagalan dalam perjuangan cenderung mencari-cari kambing hitam. Ia menuduh pihak luar sebagai biang kegagalan dan bukannya melakukan muhasabah (introspeksi). Semakin larut dalam mencari-cari kesalahan pihak lain akan semakin habis waktunya dan semakin terkuras potensinya hingga tak mampu memperbaiki diri. Dan tentu saja sikap ini hanya akan menambah keterpurukan dan sama sekali tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun untuk mewujudkan kemenangan yang didambakannya.

Keenam, membuat gelap mata dan tidak dapat melihat kebenaran. Dengki membuat pengidapnya tidak dapat melihat kelemahan dan kekurangan diri sendiri; dan tidak dapat melihat kelebihan pada pihak lain. Akibatnya, jalan kebenaran yang terang benderang menjadi kelam tertutup mega kedengkian. Apa pun yang dikatakan, apa pun yang dilakukan, dan apa pun yang datang dari orang yang dibenci dan didengkinya adalah salah dan tidak baik. Akhirnya, dia tidak dapat melaksanakan perintah Allah swt. sebagaimana yang disebutkan dalam ayat, “Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar:18)

Ketujuh, membebani diri sendiri. Orang yang membiarkan dirinya dikuasai oleh iri dengki hidupnya menanggung beban berat yang tidak seharusnya ada. Bayangkan, setiap melihat orang lain yang didengkinya dengan segala kesuksesannya, mukanya akan menjadi tertekuk, lidahnya mengeluarkan sumpah serapah, bibirnya berat untuk tersenyum, dan yang lebih bahaya hatinya semakin penuh dengan dengki, marah, benci, curiga, kesal, kecewa, resah, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Enakkah kehidupan yang penuh dengan perasaan itu? Tentu saja menyesakkan. Dalam bahasa Al-Qur’an, bumi yang luas ini dirasakan sumpek. Seperti layaknya penyakit, ketika dipelihara akan mendatangkan penyakit lainnya. Demikian pula penyakit hati yang bernama iri dengki. Bila dia tidak dihilangkan akan mengundang penyakit-penyakit lainnya. Maha Benar Allah yang telah berfirman, “Di dalam hati mereka ada penyakit maka Allah tambahkan kepada mereka penyakit (lainnya).” (Al-Baqarah: 10)

Betapa sulitnya kita menghimpun kebaikan dan meraih kemenangan. Maka janganlah diperparah dan dipersulit dengan membiarkan dengki menguasai hati kita. Mari berlomba dalam kebaikan. Allahu a’lam.

0 komentar:

MENIKMATI KESEGARAN IBADAH

11:21 PM Lana 0 Comments

Oleh : Muhammad Nuh
Sumber : Dakwatuna


Menelusuri jalan hidup kadang tak ubahnya seperti pengembara yang berjalan di tengah terik. Haus dan melelahkan. Andai ada air segar yang tersaji di tiap persinggahan. Andai tiap orang sadar kalau air segar itu adalah ibadah di tiap persinggahan kesibukan.

Ada yang aneh dari sudut pandang Aisyah r.a. terhadap tingkah suaminya, Rasulullah saw. Ia terheran ketika mendapati Rasul yang begitu menikmati shalat sunnah hingga kakinya bengkak. Apa beliau tidak merasakan sakit itu?

Aisyah pun mengatakan, “Kenapa kau lakukan itu, ya Rasulullah? Bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang dulu dan akan datang?” Dengan ringan Rasul menjawab, “Tak patutkah aku untuk menjadi hamba Allah yang senantiasa bersyukur!”

Kenikmatan beribadah. Itulah yang dirasakan Baginda Rasulullah saw. ketika sedang shalat. Sedemikian nikmatnya, hingga rasa sakit dari bengkak kakinya tak lagi terasa. Beliau seperti tak ingin menyudahi komunikasinya dengan Yang Maha Kasih, Yang Maha Sayang.

Keindahan hubungan antara seorang hamba dengan Khaliqnya itu bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Persis seperti seorang rakyat ketika berkomunikasi dengan seorang pejabat tinggi. Umumnya, komunikasi akan berlangsung formal, kaku, dan membosankan. Akan beda jika rakyat itu masih ada hubungan keluarga dengan sang pejabat. Mereka sudah saling kenal. Komunikasi menjadi tidak formal, santai, dan sangat menyenangkan. Padahal posisinya tetap sama: antara rakyat dengan seorang pejabat tinggi.

Secara sederhana bisa dibilang ada hijab. Ada sesuatu yang mendindingi antara hati seorang manusia dengan Allah swt. Dinding ini bisa menebal, bisa juga menipis. Bahkan nyaris tak ada dinding sama sekali.

Firman Allah swt. dalam surah Qaf ayat 16, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”

Masalahnya, sedekat itu pulakah seorang hamba Allah kepada Allah swt. Ini yang akhirnya menentukan keharmonisan dan kenikmatan dalam beribadah. Dan ini pula yang menentukan bermutu tidaknya ibadah seorang hamba Allah swt.

Mutu ibadah yang terkesan sederhana ini, ternyata punya dampak yang luar biasa dalam tatanan kehidupan manusia. Mutu ibadah seseorang sangat berpengaruh pada sepak terjangnya di dunia nyata. Apakah terhadap sesama manusia atau dengan alam lingkungannya.

Dalam hal shalat misalnya, Al-Qur’an menyebutnya dengan mereka yang lalai dari shalat. “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” [QS. Al-Ma'un (107): 4-7]

Bagaimana mungkin orang yang rajin shalat bisa tak peduli dengan lingkungan, bahkan bisa berbuat jahat dengan saudara seiman? Ini menandakan kalau shalat yang dilakukan tidak bermutu sama sekali. Karena pengaruh shalatnya tidak terlihat dalam hubungan sosialnya dengan yang lain.

Rasulullah saw. mengatakan, “Maafkanlah kesalahan orang yang murah hati (dermawan). Sesungguhnya Allah menuntun tangannya jika dia terpeleset (jatuh). Seorang pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia dan dekat kepada surga. Seorang yang bodoh tapi murah hati lebih disukai Allah daripada seorang alim (tekun beribadah) tapi kikir.” (HR. Athabrani)

Ternyata, jauh tidaknya seseorang kepada Allah bisa dilihat dari hubungannya dengan orang sekitar. Kalau seseorang tidak disukai dengan orang sekitarnya, terlebih sesama mukmin, berarti hubungan orang itu dengan Allah swt. seperti minyak dengan air. Terlihat seperti menyatu, padahal selalu pisah.

Perhatikanlah bagaimana sosok Rasulullah saw. di mata para sahabatnya. Begitu dekat, begitu dicintai. Rasulullah saw. buat para sahabatnya bisa seperti ayah dengan anak, antara sesama sahabat dekat, dan seperti guru dengan murid.

“Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” [QS. At-Taubah (9): 128]

Dekat tidaknya seseorang dengan Allah swt. juga bergantung pada diri orang itu sendiri. Dan pintu itu ada pada kebersihan hati, kekuatan iman, serta istiqamah dalam mentaati aturan Allah dalam kehidupan.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwa Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” [QS. Al-Baqarah (2): 186]

Andai ibadah menjadi sesuatu yang menyenangkan buat diri seseorang, dia akan menjadikan shalat persis seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap shalatnya. Rasulullah saw. bila menghadapi suatu dilema (situasi yang sukar dan membingungkan), beliau shalat. (HR Ahmad)

0 komentar:

ZUHUD

11:08 PM Lana 0 Comments

Sumber : Dakwatuna.Com

Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim. Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala macam perbendaharaannnya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan, dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.

Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu, setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim)


Makna dan Hakikat Zuhud

Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits, dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi mengungkapkan tentang makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.

Selanjutnya Allah menyebutkan tentang musibah yang menimpa manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus menyikapi musibah tersebut. Sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu, orang yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Qur’an ketika berbicara tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap zuhud.

Dari ayat itu juga, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun penderitaannya.

Demikian juga ketika Rasulullah saw., ingin membawa para sahabatnya pada sikap zuhud, beliau memberikan panduan bagaimana seharusnya orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia. Rasulullah bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR Bukhari). Selanjutnya Rasulullah mencontohkan langsung kepada para sahabat dan umatnya bagaimana hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin bekerja dan beramal shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia berupa harta dan kenikmatan dunia. Kehidupan Rasulullah saw. sangat sederhana dan bersahaja. Beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan keridhaan Allah swt. Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala. Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”

Keutamaan Zuhud terhadap Dunia

Zuhud merupakan sifat mulia orang beriman karena tidak tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta, wanita, maupun tahta. Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang beriman beramal shalih di dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk kemaslahatan manusia, kemudian mereka meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas dan kenikmatan yang halal di dunia. Pada saat yang sama, hati mereka tidak tertipu pada dunia. Mereka meyakini betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.

Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits yang menerangkan keutamaan zuhud terhadap dunia:

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran: 14-15).

Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi: 45-46)

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut: 64).

Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Rasulullah saw. mengabarkan kepada kita bahwa didatangkan orang yang paling senang di dunia sedang dia adalah ahli neraka di hari kiamat, dicelupkan ke dalam api neraka satu kali celupan. Kemudian ditanya, ”Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan kebaikan? Apakah engkau merasakan kenikmatan (di dunia)?” Maka dia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Kemudian didatangkan orang yang paling menderita di dunia dan dia ahli surga, dicelupkan satu kali celupan di surga. Kemudian ditanya, ”Wahai Anak Adam, apakah engkau pernah menderita kesulitan? Apakah lewat padamu suatu kesusahan (di dunia)?” Maka ia menjawab, ”Tidak, demi Allah, wahai Rabbku, tidak pernah aku mengalami kesusahan dan kesulitan sedikitpun.” (HR Muslim)

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, perbandingan dunia dengan akhirat seperti seorang menyelupkan tangannya ke dalam lautan, lihatlah apa yang tersisa.” (HR Muslim)

Tanda-tanda Zuhud

Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda-tanda zuhud, yaitu: pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Kedua, sama saja di sisinya orang yang mencela dan mencacinya, baik terkait dengan harta maupun kedudukan. Ketiga, hendaknya senantiasa bersama Allah dan hatinya lebih didominasi oleh lezatnya ketaatan. Karena hati tidak dapat terbebas dari kecintaan. Apakah cinta Allah atau cinta dunia. Dan keduanya tidak dapat bersatu.

Jadi, tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan karena adanya dominasi kedekatan kepada Allah.

Yahya bin Yazid berkata, ”Tanda zuhud ada dermawan dengan apa yang ada.” Imam Ahmad bin Hambal dan Sufyan r.a. berkata, ”Tanda zuhud adalah pendeknya angan-angan.”

Kehidupan zuhud ini dicontoh oleh para sahabatnya: Abu Bakar, Umar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka adalah beberapa sahabat yang kaya raya, tetapi tidak mengambil semua harta kekayaannya untuk diri sendiri dan keluarganya. Sebagian besar harta mereka habis untuk dakwah, jihad, dan menolong orang-orang beriman. Mereka adalah tokoh pemimpin dunia yang dunia ada dalam genggamannya, namun tidak tertipu oleh dunia. Bahkan, mereka lebih mementingkan kehidupan akhirat dengan segala kenikmatannya. Abu Bakar berkata, ”Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, bukan di hati kami.

Suatu saat Ibnu Umar mendengar seseorang bertanya, ”Dimana orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat?” Lalu Ibnu Umar menunjukkan kuburan Rasulullah saw., Abu Bakar, dan Umar, seraya balik bertanya, ”Bukankah kalian bertanya tentang mereka?”

Abu Sulaiman berkata, ”Utsman bin ‘Affan dan Abdurrahman bin Auf adalah dua gudang harta dari sekian banyak gudang harta Allah yang ada di bumi. Keduanya menginfakkan harta tersebut dalam rangka mentaati Allah, dan bersiap menuju Allah dengan hati dan ilmunya.”

Dengan demikian hanya orang yang berimanlah yang dapat memakmurkan bumi dan memimpin dunia dengan baik, karena mereka tidak menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Demikianlah cara umat Islam memimpin dunia, mulai dari Rasulullah saw., khulafaur rasyidin sampai pemimpin berikutnya. Pemerintahan Islam berhasil menghadirkan keamanan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Perdaban dibangun atas dasar keimanan dan moral. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, salah satu pemimpin yang paling zuhud, masyarakat merasakan ketentraman, kesejahteraan, dan keberkahan. Tidak ada lagi orang yang miskin yang meminta-minta, karena kebutuhannya sudah tercukupi.

Tingkatan Zuhud

Zuhud orang-orang beriman memiliki tingkatan. Zuhud terhadap yang haram, zuhud terhadap yang makruh, zuhud terhadap yang syubhat, dan zuhud terhadap segala urusan dunia yang tidak ada manfaatnya untuk kebaikan hidup di akhirat.

Zuhud terhadap yang haram hukumnya wajib. Orang-orang beriman harus zuhud atau meninggalkan segala sesuatu yang diharamkan Allah. Bahkan sifat-sifat orang beriman, bukan hanya meninggalkan yang diharamkan, tetapi meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Kualitas keimanan dan keislaman seseorang sangat terkait dengan kemampuannya dalam meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna. Allah swt. berfirman, “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 3). Rasulullah saw. bersabda, ”Diantara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” (HR At-Tirmidzi)

Imam Ahmad mengatakan, ”Zuhud ada tiga bentuk. Pertama, meninggalkan sesuatu yang haram, dan ini adalah zuhudnya orang awwam. Kedua, meninggalkan berlebihan terhadap yang halal, ini adalah zuhudnya golong yang khusus. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu yang menyibukkannya dari mengingat Allah, dan ini adalah zuhudnya orang-orang arif.”

Hal yang berkaitan dengan zuhud ada 6 perkara. Seseorang tidak berhak menyandang sebutan zuhud sehingga bersikap zuhud terhadap 6 perkara tersebut, yaitu; harta, rupa (wajah), kedudukan (kekuasaan), manusia, nafsu, dan segala sesuatu selain Allah. Namun demikian, ini bukan berarti menolak kepemilikan terhadapnya. Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. adalah orang yang paling zuhud di zamannya, tetapi memiliki banyak harta, wanita, dan kedudukan.

Nabi Muhammad saw. adalah nabi yang paling zuhud, tetapi juga punya beristri lebih dari satu. Sembilan dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga tanpa hisab, kecuali Ali bin Abi Thalib, semuanya kaya raya, tetapi pada saat yang sama mereka adalah orang yang paling zuhud. Mereka adalah Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdurahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqqas, dan Said bin Abdullah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling zuhud. Meskipun demikian ketika meninggal dunia, beliau meninggalkan 21 wanita: 4 orang istri merdeka dan 17 budak wanita.

Setiap orang beriman harus senantiasa meningkatkan kualitas zuhudnya. Itulah yang akan memberinya kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta meraih ridha Allah swt. Orang-orang yang berkerja keras mencari nafkah dengan cara yang halal. Ketika berhasil meraih banyak harta kemudian menunaikan kewajiban atas harta tersebut, seperti zakat, infak, dan lainnya. Dengan berlaku seperti itu, dia termasuk orang zuhud. Orang-orang yang beriman yang memiliki istri lebih dari satu untuk membersihkan dirinya (iffah) adalah termasuk orang yang zuhud.

Sedangkan orang kafir, karakteristiknya adalah rakus terhadap kehidupan dunia dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Bagi mereka tidak ada istilah halal dan haram. Mereka tidak mengenal perbedaan antara nikah dengan zina, antara hadiah dengan suap, antara bisnis dengan riba, antara makanan halal dengan yang haram. Bahkan pada hal yang dianggap tabu saja orang-orang kafir berupaya menghalakan semuanya. Perzinaan mereka menghalalkan dengan dalil hak asasi manusia.

Berawal dari kebebasan hak untuk membuka aurat dalam berbusana. Permisif dalam pergaulan dengan membolehkan berduaan di tempat sepi. Berciuman di tempat umum dijadikan hal lumrah. Sehingga, perilaku perzinaan menjadi berita yang selalu dipertontonkan di teve dan dikabarkan di tabliod. Dari mulai perzinaan lelaki dengan perempuan yang belum menikah, perzinaan lelaki dan perempuan yang sudah menikah, sampai perzinaan sejenis: lelaki dengan lelaki, perempuan dengan perempuan. Dari perzinaan inces sampai perzinaan yang dilakukan bukan pada tempatnya. Begitulah kehidupan orang kafir. Mereka seperti hewan, bahkan lebih rendah lagi. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka.” (Muhammad: 12)

Fudhail bin ‘Iyyadh berkata, “Allah menjadikan segenap keburukan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah cinta dunia. Dan Allah menjadikan segenap kebaikan dalam sebuah rumah, dan menjadikan kuncinya adalah zuhud dari dunia.”

Tragisnya, kepemimpinan dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir. Sehingga, kerusakannya sangat dahsyat. Jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Pola hidup materialisme mendominasi di hampir semua lapangan kehidupan. Tolok ukur kesusesan diukur dari sejauh mana berhasil meraup sebanyak-banyak materi, tanpa memperhatikan ukuran agama dan moral. Maka berlomba-lombalah setiap orang menjual diri dan harga diri untuk meraih sebanyak-banyaknya materi. Dan mayoritas umat Islam terimbas budaya materialisme itu. Pola hidupnya mirip dengan orang kafir sehingga terjadilah kerusakan yang sangat dahsyat. Realitas seperti inilah yang dikhawatirkan oleh Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya dimana umat Islam terkena virus wahn (cinta dunia dan takut mati) dan berpola hidup materialisme hampir sama dengan orang kafir.

Cinta dunia dan rakus terhadap harta adalah penyakit yang paling berbahaya. Segala bentuk kejahatan bermuara dari kerakusan terhadap dunia dan pola hidup materialisme: perzinaan dan seks bebas, penjualan bayi, narkoba, perjudian, riba, korupsi, dan lain sebagainya. Karenanya, Rasulullah saw. mengingatkan akan bahaya rakus terhadap harta, ”Tidaklah dua serigala lapar yang dikirim pada kambing melebihi bahayanya daripada kerakusan seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi)

Upaya penyadaran kembali umat Islam tentang hakikat dunia dan akhirat sangat penting. Bahwa keimanan terhadap hari akhir adalah prinsip yang harus terus menerus diingat dan ditanamkan kepada umat Islam sehingga motivasi dan tujuan hidup mereka sesuai dengan nilai-nilai Islam. Semakin kuat keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin baik dan semakin zuhud. Sebaliknya, semakin lemah keimanan seseorang kepada hari akhir, akan semakin jahat dan semakin rakus.

Dalam sebuah riwayat disebutkan dua orang zuhud bertemu, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi. Syaqiq bertanya kepada Ibrahim, “Apa yang Anda ketahui tentang dunia?” Ibrahim balik bertanya, “Kalau menurut Anda, bagaimana?” Syaqiq menjawab, “Jika kami tidak mendapatkanya, maka kami harus bersabar. Dan jika mendapatkannya, maka kami harus bersyukur.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau seperti itu, maka anjing Balakh (sebuah kota di Afghanistan) pun melakukannya.” Syaqiq bertanya, “Lalu, bagaimana menurut pendapat anda?” Ibrahim menjawab, “Jika tidak mendapatkan dunia, kami bersyukur. Dan jika mendapatnya, kami itsaar (mengutamakannya untuk orang lain).” Demikianlah bahwa zuhud memang memiliki tingkatan.

Kesalahpahaman terhadap Zuhud

Banyak orang yang salah paham terhadap zuhud. Banyak yang mengira kalau zuhud adalah meninggalkan harta, menolak segala kenikmatan dunia, dan mengharamkan yang halal. Tidak demikian, karena meninggalkan harta adalah sangat mudah, apalagi jika mengharapkan pujian dan popularitas dari orang lain. Zuhud yang demikian sangat dipengaruhi oleh pikiran sufi yang berkembang di dunia Islam. Kerja mereka cuma minta-minta mengharap sedekah dari orang lain, dengan mengatakan bahwa dirinya ahli ibadah atau keturunan Rasulullah saw. Padahal Islam mengharuskan umatnya agar memakmurkam bumi, bekerja, dan menguasai dunia, tetapi pada saat yang sama tidak tertipu oleh dunia.

Segala yang halal itu jelas dan segala yang haram itu jelas, di antara keduanya ada yang syubhat yang harus kita jauhi dan tinggalkan. Semoga Allah menjadi kita bagian orang yang zuhud dan diberi kita pemimpin zuhud yang membimbing kita dalam memakmurkan dunia.

0 komentar:

KEMAKSIATAN DAN PENGARUHNYA

11:03 PM Lana 0 Comments

Sumber : Dakwatuna.Com

Sesungguhnya seorang hamba jika melakukan dosa, maka terbentuklah noda hitam dalam hatinya. Jika ia melepaskan dosa, istighfar dan taubat, bersihlah hatinya. Ketika mengulangi dosa lagi, bertambahlah noda hitamnya, sehingga menguasai hati. Itulah Roon (rona) yang disebutkan dalam Al-Qur’an, “Sekali-kali tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (HR At-Tirmidzi).

Maksiat dan dosa mempunyai pengaruh yang sangat dahsyat dalam kehidupan umat manusia. Bahayanya bukan hanya berpengaruh di dunia tetapi sampai dibawa ke akhirat. Bukankah Nabi Adam a.s. dan istrinya Siti Hawwa dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke dunia karena dosa yang dilakukannya? Dan demikianlah juga yang terjadi pada umat-umat terdahulu.

Disebabkan karena dosa, penduduk dunia pada masa Nabi Nuh a.s. dihancurkan oleh banjir yang menutupi seluruh permukaan bumi. Karena maksiat, kaum ‘Aad diluluhlantakkan oleh angin puting beliung. Karena ingkar pada Allah, kaum Tsamud ditimpa oleh suara yang sangat keras memekakkan telinga sehingga memutuskan urat-urat jantung mereka dan mati bergelimpangan. Karena perbuatan keji kaum Luth, buminya dibolak-balikkan dan semua makhluk hancur, sampai malaikat mendengar lolongan anjing dari kejauhan. Kemudian diteruskan dengan hujan bebatuan dari langit yang melengkapi siksaan bagi mereka. Dan kaum yang lain akan mendapatkan siksaan yang serupa. Jika tidak terjadi di dunia, maka di akhirat akan lebih pedih lagi. (Al-An’am: 6)


Desember 2005 dunia juga baru menyaksikan musibah yang maha dahsyat terjadi di Asia: Tsunami menghancurkan ratusan ribu umat manusia. Terbesar menimpa Aceh. Semua itu harus menjadi pelajaran yang mendalam bagi seluruh umat manusia, bahwa Allah Maha Kuasa. Disebutkan dalam musnad Imam Ahmad dari hadits Ummu Salamah, Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Jika kemaksiatan sudah mendominasi umatku, maka Allah meratakan adzab dari sisi-Nya”. Saya berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah di antara mereka ada orang-orang shalih?” Rasulullah menjawab,”Betul.” “Lalu bagaimana dengan mereka?” Rasul menjawab, “Mereka akan mendapat musibah sama dengan yang lain, kemudian mereka mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah.”

Akar Kemaksiatan

Semua kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia, baik yang besar maupun yang kecil, bermuara pada tiga hal. Pertama; terikatnya hati pada selain Allah, kedua; mengikuti potensi marah, dan ketiga; mengikuti hasrat syahwat. Ketiganya adalah syirik, zhalim, dan keji. Puncak seseorang terikat pada selain Allah adalah syirik dan menyeru pada selain Allah. Puncak seseorang mengikuti amarah adalah membunuh; dan puncak seseorang menuruti syahwat adalah berzina. Demikianlah Allah swt. menggabungkan pada satu ayat tentang sifat ‘Ibadurrahman, ”Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” (Al-Furqaan: 68)

Dan ciri khas kemaksiatan itu saling mengajak dan mendorong untuk melakukan kemaksiatan yang lain. Orang yang berzina maka zina itu dapat menyebabkan orang melakukan pembunuhan; dan pembunuhan dapat menyebabkan orang melakukan kemusyrikan. Dan para pembuat kemaksiatan saling membantu untuk mempertahankan kemaksiatannya. Setan tidak akan pernah diam untuk menjerumuskan manusia untuk melakukan dosa dan kemaksiatan. Setan senantiasa mengupayakan tempat-tempat yang kondusif untuk menjadi sarang kemaksiatan.

Oleh karena itu agar terhindar dari jebakan kemaksiatan, manusia harus melakukan lawan dari ketiganya, yaitu: pertama; menguatkan keimanan dan hubungan hati dengan Allah swt. dengan senantiasa mengikhlaskan segala amal perbuatan hanya karena Allah. Kedua; mengendalikan rasa marah, karena marah merupakan pangkal sumber dari kezhaliman yang dilakukan oleh manusia. Dan ketiga; menahan diri dari syahwat yang menggoda manusia sehingga tidak jatuh pada perbuatan zina.

Pengaruh Maksiat

Seluruh manusia mengakui bahwa kesalahan yang terkait dengan hubungan antar manusia di dunia secara umum dapat mengakibatkan kerusakan secara langsung. Orang-orang yang membabat hutan hingga gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan, longsor, dan kebanjiran. Sopir yang mengendalikan mobilnya secara ugal-ugalan dan melintasi rel kereta yang dilalui kereta, berakibat sangat parah, ditabrak oleh kereta. Orang yang membunuh orang tanpa hak, maka dia akan senantiasa dalam kegelisahan dan penderitaan. Orang yang senantiasa bohong, hidupnya tidak akan merasa tenang.

Dan pada dasarnya pengaruh kesalahan, dosa, dan kemaksiatan bukan saja yang terkait antar sesama manusia, tetapi antara manusia dengan Allah. Siapakah orang yang paling zhalim, ketika mereka diberi rezki oleh Allah dan hidup di bumi Allah kemudian menyekutukan Allah, tidak mentaati perintah-Nya, dan melanggar larangan-Nya. Jika kesalahan yang dibuat antar sesama manusia akan menimbulkan bahaya, maka kesalahan akibat tidak melaksanakan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya, maka akan lebih berbahaya lagi, di dunia sengsara dan di akhirat disiksa. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.”

Beberapa pengaruh maksiat diantaranya:

1. Lalai dan keras hati

Al-Qur’an menyebut bahwa orang-orang yang bermaksiat hatinya keras membatu. “Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Ma-idah: 13)
Berkata Ibnu Mas’ud r.a., “Saya menyakini bahwa seseorang lupa pada ilmu yang sudah dikuasainya, karena dosa yang dilakukan.”

Orang yang banyak berbuat dosa, hatinya keras, tidak sensitif, dan susah diingatkan. Itu suatu musibah besar. Bahkan disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa orang yang senantiasa berbuat dosa, hatinya akan dikunci mati, sehingga keimanan tidak dapat masuk, dan kekufuran tidak dapat keluar.

2. Terhalang dari ilmu dari rezeki

Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba diharamkan mendapat rezeki karena dosa yang dilakukannya” (HR Ibnu Majah dan Hakim)

Berkata Imam As-Syafi’i, “Saya mengadu pada Waqi’i tentang buruknya hafalanku. Beliau menasihatiku agar meninggalkan maksiat. Dan memberitahuku bahwa ilmu adalah cahaya. Dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

Orang yang banyak melakukan dosa waktunya banyak dihabiskan untuk hal-hal yang sepele dan tidak berguna. Tidak untuk mencari ilmu yang bermanfaat, tidak juga untuk mendapatkan nafkah yang halal. Banyak manusia yang masuk dalam model ini. Banyak yang menghabiskan waktunya di meja judi dengan menikmati minuman haram dan disampingnya para wanita murahan yang tidak punya rasa malu. Sebagian yang lain asyik dengan hobinya. Ada yang hobi memelihara burung atau binatang piaraan yang lain. Sebagian lain, ada yang hobi mengumpulkan barang antik meski harus mengeluarkan biaya tak sedikit. Sebagian yang lain hobi belanja atau sibuk bolak-balik ke salon kecantikan. Seperti itulah kualitas hidup mereka.

3. Kematian hati dan kegelapan di wajah

Berkata Abdullah bin Al-Mubarak, “Saya melihat dosa-dosa itu mematikan hati dan mewariskan kehinaan bagi para pelakunya. Meninggalkan dosa-dosa menyebabkan hidupnya hati. Sebaik-baiknya bagi dirimu meninggalkannya. Bukankah yang menghancurkan agama itu tidak lain para penguasa dan ahli agama yang jahat dan para rahib.”

Sungguh suatu musibah besar jika hati seseorang itu mati disebabkan karena dosa-dosa yang dilakukannya. Dan perangkap dosa yang dikejar oleh mayoritas manusia adalah harta dan kekuasaan. Mereka mengejar harta dan kekuasaan seperti laron masuk ke kobaran api unggun.

Tanda seorang bergelimangan dosa terlihat di wajahnya. Wajah orang-orang yang jauh dari air wudhu dan cahaya Al-Qur’an adalah gelap tidak enak dipandang.

4. Terhalang dari penerapan hukum Allah

Penerapan hukum Allah berupa syariat Islam di muka bumi adalah rahmat dan karunia Allah dan memberikan keberkahan bagi penduduknya. Ketika masyarakat banyak yang melakukan kemaksiatan, maka mereka akan terhalang dari rahmat Islam tersebut. (Lihat Al-Maa-idah: 49 dan Al-A’raaf: 96)

5. Hilangnya nikmat Allah dan potensi kekuatan

Di antara nikmat yang paling besar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan dan kemenangan. Sejarah telah membuktikan bahwa pertolongan Allah dan kemenangan-Nya diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang taat. Sebaliknya, kekalahan dan kehancuran disebabkan karena maksiat dan ketidaktaatan.

Kisah Perang Uhud harus menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman. Ketika sebagian pasukan perang sibuk mengejar harta rampasan dan begitu juga pasukan pemanah turun gunung ikut memperebutkan harta rampasan. maka terjadilah musibah luar biasa. Korban berjatuhan di kalangan umat Islam. Rasulullah saw. pun berdarah-darah.

Kisah penghancuran Kota Baghdad oleh pasukan Tartar juga terjadi karena umat Islam bergelimang kemaksiatan. Khilafah Islam pun runtuh, selain dari faktor adanya konspirasi internasional yang melibatkan Inggris, Amerika Serikat, dan Israel, karena umat Islam berpecah belah dan kemaksiatan yang mereka lakukan.

Umar bin Khattab berwasiat ketika melepas tentara perang: ”Dosa yang dilakukan tentara (Islam) lebih aku takuti dari musuh mereka. Sesungguhnya umat Islam dimenangkan karena maksiat musuh mereka kepada Allah. Kalau tidak demikian kita tidak mempunyai kekuatan, karena jumlah kita tidak sepadan dengan jumlah mereka, perlengkapan kita tidak sepadan dengan perlengkapan mereka. Jika kita sama dalam berbuat maksiat, maka mereka lebih memiliki kekuatan. Jika kita tidak dimenangkan dengan keutamaan kita, maka kita tidak dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita.”

Oleh karena itu umat Islam dan para pemimpinnya harus berhati-hati dari jebakan-jebakan cinta dunia dan ambisi kekuasaan. Jauhi segala harta yang meragukan apalagi yang jelas haramnya. Karena harta yang syubhat dan meragukan, tidak akan membawa keberkahan dan akan menimbulkan perpecahan serta fitnah. Kemaksiatan yang dilakukan oleh individu, keluarga, dan masyarakat akan menimbulkan hilangnya nikmat yang telah diraih dan akan diraih. Dan melemahkan segala potensi kekuatan. Waspadalah!

0 komentar:

SYUKUR

12:14 PM Lana 0 Comments

Oleh : Tim Dakwatuna
Sumber : Dakwatuna.Com


Ketika Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata,“Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40). Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).

Dua kisah yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi Sulaiman a.s. mendapatkan karunia di dunia dan akhirat. Sedangkan Qarun mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan nikmat Allah.

Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu mereka kufur. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, zullada, dan shalihin (An-Nisa’: 69-70). Golongan kedua, mereka inilah para penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahal, dan para pengikut mereka dari masa ke masa.

Secara umum bahwa kesejahteraan, kedamaian dan keberkahan merupakan hasil dari syukur kepada Allah sedangkan kesempitan, kegersangan dan kemiskinan akibat dari kufur kepada Allah. (An-Nahl 112)

Nikmat Allah

Betapa zhalimnya manusia, bergelimang nikmat Allah tetapi tidak bersyukur kepada-Nya (Ibrahim: 34). Nikmat yang Allah berikan kepada manusia mencakup aspek lahir (zhaahirah) dan batin (baatinah) serta gabungan dari keduanya. Surat Ar-Rahman menyebutkan berbagai macam kenikmatan itu dan mengingatkan kepada manusia akan nikmat tersebut dengan berulang-ulang sebanyak 31 kali, “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”

Baca dan tadabburilah surat Ar-Rahman. Allah yang Maha Penyayang memberikan limpahan nikmat kepada manusia dan tidak ada satu makhluk pun yang dapat menghitungnya. Dari awal sampai akhir surat Ar-Rahman, Allah merinci nikmat-nikmat itu.

Dimulai dengan ungkapan yang sangat indah, nama Allah, Dzat Yang Maha Pemurah, Ar-Rahmaan. Mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berkata-kata dan berbicara. Menciptakan mahluk langit dengan penuh keseimbangan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Menciptakan bumi, daratan dan lautan dengan segala isinya semuanya untuk manusia. Dan menciptakan manusia dari bahan baku yang paling baik untuk dijadikan makhluk yang paling baik pula. Kemudian mengingatkan manusia dan jin bahwa dunia seisinya tidak kekal dan akan berakhir. Hanya Allah-lah yang kekal. Di sana ada alam lain, akhirat. Surga dengan segala bentuk kenikmatannya dan neraka dengan segala bentuk kengeriannya. “Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”

Sarana Hidup (Wasa-ilul Hayah)

Sungguh Maha Agung nama Rabbmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia. Marilah kita sadar akan nikmat itu dan menysukurinya dengan sepenuh hati. Dalam surat An-Nahl ayat 78, ada nikmat yang lain yang harus disyukuri manusia, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”

Cobalah renungkan! Bagaimana jika manusia hidup di dunia dalam kondisi buta, maka dia tidak dapat melihat. Seluruh yang ada di hadapannya adalah sama. Tidak dapat melihat keindahan warna-warni dan tidak dapat melihat keindahan alam semesta. Coba sekali lagi renungkan! Bagaimana jadinya jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta dan tuli. Maka dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan coba sekali lagi renungkan! Jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta, tuli, dan gila. Maka hidupnya dihabiskan di rumah sakit, menjadi beban yang lainnya. Demikianlah nikmat penglihatan, pendengaran, dan akal. Demikianlah nikmat sarana kehidupan (wasail al-hayat).

Pedoman Hidup (Manhajul Hayah)

Sekarang apa jadinya jika manusia itu diberi karunia oleh Allah mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan akal untuk berpikir. Kemudian mata itu tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah, dan akal tidak digunakan untuk mengimani dan memahami ayat-ayat Allah. Maka itulah seburuk-buruknya makhluk. Mereka itu seperti binatang. Bahkan, lebih rendah dari binatang (Al-A’raf: 179).

Demikianlah, betapa besarnya nikmat petunjuk Islam (hidayatul Islam) dan pedoman hidup (manhajul hayah). Nikmat ini lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya. Nikmat ini mengantarkan orang-orang beriman dapat menjalani hidupnya dengan lurus, penuh kejelasan, dan terang benderang. Mereka mengetahui yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.

Al-Qur’an banyak sekali membuat perumpamaan orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, diantaranya digambarkan seperti binatang secara umum dan binatang tertentu secara khusus, seperti; anjing, keledai, kera dan babi (Al-A’raf: 176, Al-Jumu’ah: 5, Al-Anfal: 55, Al-Maidah: 60). Diumpamakan juga seperti orang yang berjalan dengan kepala (Al-Mulk: 22), buta dan tuli (Al-Maidah: 71), jatuh dari langit dan disambar burung (Al-Hajj: 31) kayu yang tersandar (Al-Munafiqun: 4) dan lainnya.

Pertolongan (An-Nashr)

Ada satu bentuk kenikmatan lagi yang akan Allah berikan kepada orang-orang beriman disebabkan mereka komitmen dengan manhaj Allah dan berdakwah untuk menegakkan sistem Islam, yaitu pertolongan Allah, “ Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

Pertolongan Allah itu sangat banyak bentuknya, diantaranya perlindungan dan tempat menetap (al-iwaa), dukungan Allah sehingga menjadi kuat (ta’yiid), rizki yang baik-baik, kemenangan (al-fath), kekuasaan (al-istikhlaaf), pengokohan agama (tamkinud-din) dan berbagai macam bentuk pertolongan Allah yang lain (Al-Anfaal: 26, Ash-Shaaf: 10-13 dan An-Nuur: 55).

Segala bentuk kenikmatan tersebut baik yang zhahir, bathin, maupun gabungan antara keduanya haruslah direspon dengan syukur secara optimal. Dan dalam bersyukur kepada Allah harus memenuhi rukun-rukunnya.

Rukun Syukur

Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.

Al-I’tiraaf

Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)

Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekular menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah diraih dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir ini sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78)

Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia Barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, tenderita, dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia Barat tersebut, bahkan mungkin lebih parah lagi.

I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua makhluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.

At-Tahadduts

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)

Abi Nadhrah berkata, “Dahulu umat Islam melihat bahwa di antara bentuk syukur nikmat yaitu mengucapkannya.” Rasul saw. bersabda, “Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia.” (Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “Jika Anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu.” Berkata Ibnu Ishak, “Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa kenikmatan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.”

Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.

Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas r.a., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw., ”Wahai Rasulullah saw., orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul saw. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”

Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.

At-Tha’ah

Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s., dan Nabi Muhammad saw. Allah swt. menyebutkan tentang Nuh a.s. “Sesungguhnya dia (Nuh a.s.) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)

Dan lihatlah bagaimana Aisyah r.a. menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah r.a., ”Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang.” Berkata Rasulullah saw., “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw.” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul saw. berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).

Tambahan Nikmat

Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan nikmat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang bertambah (ziyadatul amal), rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari kenikmatan yaitu dimasukan ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang disebutkan dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”


0 komentar:

10 GOLONGAN YANG TIDAK MASUK SURGA

7:22 AM Lana 0 Comments

Oleh : Mochamad Bugi
Sumber : Dakwatuna.com


Ibnu Abas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada sepuluh golongan dari umatku yang tidak akan masuk surga, kecuali bagi yang bertobat. Mereka itu adalah al-qalla’, al-jayyuf, al-qattat, ad-daibub, ad-dayyus, shahibul arthabah, shahibul qubah, al-’utul, az-zanim, dan al-’aq li walidaih.

Selanjutnya Rasulullah saw. ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah al-qalla’ itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mondar-mandir kepada penguasa untuk memberikan laporan batil dan palsu.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-jayyuf itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka menggali kuburan untuk mencuri kain kafan dan sebagainya.”

Beliau ditanya lagi, “Siapakah al-qattat itu?” Beliau menjawab, “Orang yang suka mengadu domba.”


Beliau ditanya, “Siapakah ad-daibub itu?” Beliau menjawab, “Germo.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah ad-dayyus itu?” Beliau menjawab, “Dayyus adalah laki-laki yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya, anak perempuannya, dan saudara perempuannya.”

Rasulullah saw. ditanya lagi, “Siapakah shahibul arthabah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang besar.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah shahibul qubah itu?” Beliau menjawab, “Penabuh gendang kecil.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah al-’utul itu?” Beliau menjawab, “Orang yang tidak mau memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf atas dosa yang dilakukannya, dan tidak mau menerima alasan orang lain.”

Rasulullah saw. ditanya, “Siapakah az-zanim itu?” Beliau menjawab, “Orang yang dilahirkan dari hasil perzinaan yang suka duduk-duduk di tepi jalan guna menggunjing orang lain. Adapun al-’aq, kalian sudah tahu semua maksudnya (yakni orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya).”

Mu’adz bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan engkau tentang ayat ini: yauma yunfakhu fiish-shuuri fata’tuuna afwaajaa, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangkakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok?” (An-Naba’: 18)

“Wahai Mu’adz, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar,” jawab Rasulullah saw. Kedua mata beliau yang mulia pun mencucurkan air mata. Beliau melanjutkan sabdanya.

“Ada sepuluh golongan dari umatku yang akan dikumpulkan pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan yang berbeda-beda. Allah memisahkan mereka dari jama’ah kaum muslimin dan akan menampakkan bentuk rupa mereka (sesuai dengan amaliyahnya di dunia). Di antara mereka ada yang berwujud kera; ada yang berwujud babi; ada yang berjalan berjungkir-balik dengan muka terseret-seret; ada yang buta kedua matanya, ada yang tuli, bisu, lagi tidak tahu apa-apa; ada yang memamah lidahnya sendiri yang menjulur sampai ke dada dan mengalir nanah dari mulutnya sehingga jama’ah kaum muslimin merasa amat jijik terhadapnya; ada yang tangan dan kakinya dalam keadaan terpotong; ada yang disalib di atas batangan besi panas; ada yang aroma tubuhnya lebih busuk daripada bangkai; dan ada yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih.”

“Mereka yang berwajah kera adalah orang-orang yang ketika di dunia suka mengadu domba di antara manusia. Yang berwujud babi adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan barang haram dan bekerja dengan cara yang haram, seperti cukai dan uang suap.”

“Yang berjalan jungkir-balik adalah mereka yang ketika di dunia gemar memakan riba. Yang buta adalah orang-orang yang ketika di dunia suka berbuat zhalim dalam memutuskan hukum. Yang tuli dan bisu adalah orang-orang yang ketika di dunia suka ujub (menyombongkan diri) dengan amalnya.”

“Yang memamah lidahnya adalah ulama dan pemberi fatwa yang ucapannya bertolak-belakang dengan amal perbuatannya. Yang terpotong tangan dan kakinya adalah orang-orang yang ketika di dunia suka menyakiti tetangganya.”

“Yang disalib di batangan besi panas adalah orang yang suka mengadukan orang lain kepada penguasa dengan pengaduan batil dan palsu. Yang tubuhnya berbau busuk melebihi bangkai adalah orang yang suka bersenang-senang dengan menuruti semua syahwat dan kemauan mereka tanpa mau menunaikan hak Allah yang ada pada harta mereka.”

“Adapun orang yang berselimutkan kain yang dicelup aspal mendidih adalah orang yang suka takabur dan membanggakan diri.” (HR. Qurthubi)

Saudaraku, adakah kita di antara 10 daftar yang dipaparkan Rasulullah saw. di atas? Bertobatlah, agar selamat!

0 komentar: