MENGAPA HATI KERAS MEMBATU?

Sumber : Kutaib “Limadza Taqsu Qulubuna” Al-Qism al-Ilmi Darul Wathan.
dikutip dari : www.alsofwah.or.id

Hati adalah sumber penalaran, tempat pertimbangan, tumbuhnya cinta dan benci, keimanan dan kekufuran, taubat dan keras kepala, ketenangan dan kegoncangan.

Hati juga sumber kebahagiaan, jika kita mampu membersihkannya, namun sebaliknya merupakan sumber bencana jika menodainya. Aktivitas badan sangat tergantung lurus bengkoknya hati. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika raja itu bagus, maka akan bagus pula tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tentaranya."

Tanda-Tanda Kerasnya Hati

Hati yang keras memiliki tanda-tanda yang bisa dikenali, di antara yang terpenting sebagai berikut :

1. Malas Melakukan Ketaatan dan Amal Kebaikan
Terutama malas untuk menjalankan ibadah, bahkan mungkin meremehkan nya, melakukan shalat asal-asalan tanpa ada kekhusyukan dan kesungguhan, merasa berat dan enggan, merasa berat pula menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Allah telah menyifati kaum munafiqin. Firman-Nya, artinya,
“Dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah : 54)

2. Tidak Tersentuh Oleh Ayat Al-Qur'an dan Petuah
Ketika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, maka tidak terpengaruh sama sekali, tidak mau khusyu' atau tunduk, dan juga lalai dari membaca al-Qur'an serta mendengarkannya, bahkan enggan dan berpaling darinya. Sedang kan Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memperingatkan, artinya,
“Maka beri peringatanlah dengan al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku.” (Qaaf : 45)

3. Tidak Tersentuh dengan Ayat Kauniyah
Tidak tergerak dengan adanya peristiwa-peristiwa yang dapat memberikan pelajaran, seperti kematian, sakit, bencana dan semisalnya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai sesuatu yang tidak ada apa-apanya, padahal cukuplah kematian itu sebagai nasihat.
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” (At-Taubah :126)

4. Berlebihan Mencintai Dunia dan Melupakan Akhirat
Himmah dan segala keinginannya tertumpu untuk urusan dunia semata. Segala sesuatu ditimbang dari sisi dunia dan materi. Cinta, benci dan hubungan dengan sesama manusia hanya untuk urusan dunia saja. Ujungnya, jadilah dia seorang yang dengki, egois dan individualis, bakhil dan tamak terhadap dunia.

5. Kurang Mengagungkan Allah.
Sehingga hilang rasa cemburu dalam hati, kekuatan iman melemah, tidak marah ketika larangan Allah diterjang, serta tidak mengingkari kemungkaran. Tidak mengenal yang ma'ruf serta tidak peduli terhadap segala kemaksiatan dan dosa.

6. Kegersangan Hati
Kesempitan dada, mengalami kegoncangan, tidak pernah merasakan ketenangan dan kedamaian sama sekali. Hatinya gersang terus-menerus dan selalu gundah terhadap segala sesuatu.

7. Kemaksiatan Berantai
Termasuk fenomena kerasnya hati adalah lahirnya kemaksiatan baru akibat dari kemaksiatan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga menjadi sebuah lingkaran setan yang sangat sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri.


Sebab-Sebab Kerasnya Hati

Di antara faktor kerasnya hati, yang penting untuk kita ketahui yakni:

1. Ketergantungan Hati kepada Dunia serta Melupakan Akhirat
Kalau hati sudah keterlaluan mencintai dunia melebihi akhirat, maka hati tergantung terhadapnya, sehingga lambat laun keimanan menjadi lemah dan akhirnya merasa berat untuk menjalankan ibadah. Kesenangannya hanya kepada urusan dunia belaka, akhirat terabaikan dan bahkan ter-lupakan. Hatinya lalai mengingat maut, maka jadilah dia orang yang panjang angan-angan.
Seorang salaf berkata, "Tidak ada seorang hamba, kecuali dia mempunyai dua mata di wajahnya untuk memandang seluruh urusan dunia, dan mempunyai dua mata di hati untuk melihat seluruh perkara akhirat. Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka Dia membuka kedua mata hatinya dan jika Dia menghendaki selain itu (keburukan), maka dia biarkan si hamba sedemikian rupa (tidak mampu melihat dengan mata hati), lalu dia membaca ayat, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci.” (Muhammad : 24)

2. Lalai
Lalai merupakan penyakit yang berbahaya apabila telah menjalar di dalam hati dan bersarang di dalam jiwa. Karena akan berakibat anggota badan saling mendukung untuk menutup pintu hidayah, sehingga hati akhirnya menjadi terkunci. Allah berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itu lah orang-orang yang lalai” (QS.16:108)
Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang yang lalai adalah mereka yang memiliki hati keras membatu, tidak mau lembut dan lunak, tidak mempan dengan berbagai nasehat. Dia bagai batu atau bahkan lebih keras lagi, karena mereka punya mata, namun tak mampu melihat kebenaran dan hakikat setiap perkara. Tidak mampu membedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan. Mereka juga memiliki telinga, namun hanya digunakan untuk mendengarkan berbagai bentuk kebatilan, kedustaan dan kesia-siaan. Tidak pernah digunakan untuk mendengarkan al-haq dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shalallaahu alaihi wasalam (Periksa QS. Al A'raf 179)

3. Kawan yang Buruk
Ini juga merupakan salah satu sebab terbesar yang mempengaruhi kerasnya hati seseorang. Orang yang hidupnya di tengah gelombang kemaksiatan dan kemungkaran, bergaul dengan manusia yang banyak berku-bang dalam dosa, banyak bergurau dan tertawa tanpa batas, banyak mendengar musik dan menghabiskan hari-harinya untuk film, maka sangat memungkinkan akan terpengaruh oleh kondisi tersebut.

4. Terbiasa dengan Kemaksiatan dan Kemungkaran
Dosa merupakan penghalang seseorang untuk sampai kepada Allah. Ia merupakan pembegal perjalanan menuju kepada-Nya serta membalikkan arah perjalanan yang lurus.
Kemaksiatan meskipun kecil, terkadang memicu terjadinya bentuk kemaksiatan lain yang lebih besar dari yang pertama, sehingga semakin hari semakin bertumpuk tanpa terasa. Dianggapnya hal itu biasa-biasa saja, padahal satu persatu kemaksiatan tersebut masuk ke dalam hati, sehingga menjadi sebuah ketergantungan yang amat berat untuk dilepaskan. Maka melemahlah kebesaran dan keagungan Allah di dalam hati, dan melemah pula jalannya hati menuju Allah dan kampung akhirat, sehingga menjadi terhalang dan bahkan terhenti tak mampu lagi bergerak menuju Allah.

5. Melupakan Maut, Sakarat, Kubur dan Kedahsyatannya.
Termasuk seluruh perkara akhirat baik berupa adzab, nikmat, timbangan amal, mahsyar, shirath, Surga dan Neraka, semua telah hilang dari ingatan dan hatinya.

6. Melakukan Perusak Hati
Yang merusak hati sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim ada lima perkara, yaitu banyak bergaul dengan sembarang orang, panjang angan-angan, bergantung kepada selain Allah, berlebihan makan dan berlebihan tidur.


Solusi

Hati yang lembut dan lunak merupakan nikmat Allah yang sangat besar, karena dia mampu menerima dan menyerap segala yang datang dari Allah. Allah mengancam orang yang berhati keras melalui firman-Nya,
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Az-Zumar: 22)

Di antara hal-hal yang dapat membantu menghilangkan kerasnya hati dan menjadikannya lunak, lembut dan terbuka untuk menerima kebenaran dari Allah yakni:

1. Ma'rifat (mengenal) Allah
Siapa yang kenal Allah, maka hatinya pasti akan lunak dan lembut, dan siapa yang jahil terhadap-Nya, maka akan keras hatinya. Semakin bodoh seseorang terhadap Allah, maka akan semakin berani melanggar batasan-Nya. Dan semakin seseorang berfikir tentang Allah, maka semakin sadar akan kebesaran Allah, keluasan nikmat serta kekuasaan Nya.

2. Mengingat Maut
Pertanyaan kubur, kegelapannya, sempit dan sepinya, juga penderitaan menjelang sakaratul maut termasuk ke dalam mengingat maut. Memperhatikan pula orang-orang yang telah mendekati kematian dan menghadiri jenazah. Hal itu dapat membangunkan ketertiduran hati kita, dan mengingatkan dari keterlenaan. Sa’id bin Jubair berkata, "Seandainya mengingat mati lepas dari hatiku, maka aku takut kalau akan merusak hatiku."

3. Berziarah Kubur dan Memikirkan Penghuninya.
Bagaimana mereka yang telah ditimbun tanah, bagaimana mereka dulu makan, minum dan berpakaian dan kini telah hancur di dalam kubur, mereka tinggalkan segala yang dimiliki, harta, kekuasaan maupun keluarga, lalu ingat dan berfikir, bahwa sebentar lagi dia juga akan mengalami hal yang sama.

4. Memperhatikan Ayat-ayat Al- Qur'an.
Memikirkan ancaman dan janjinya, perintah dan larangannya. Karena dengan memikirkan kandungannya, maka hati akan tunduk, iman akan bergerak mendorong untuk berjalan menuju Rabbnya, hati menjadi lunak dan takut kepada Allah.

5. Mengingat Akhirat dan Kiamat
Huru-hara dan kedahsyatannya, Surga dengan kenimatannya, neraka dengan penderitaannya yang disediakan bagi para pelaku dosa dan kemaksiatan.

6. Memperbanyak Dzikir dan Istighfar
Dzikir dapat melunakan hati yang keras. Karena itu selayaknya seorang hamba mengobati hatinya dengan berdzikir kepada Allah, sebab ketika kelalaian bertambah, maka kekerasan hati makin memuncak pula.

7. Mendatangi Orang Shalih dan Bergaul dengen Mereka.
Orang shaleh akan memberikan semangat ketika kita lemah, mengingatkan ketika lupa, dan memberikan jalan ketika kita bingung dan pertemuan dengan mereka akan membantu kita dalam melakukan ketaatan kepada Allah

8. Berjuang, Introspeksi dan Melihat Kekurangan Diri.
Manusia, jika tidak mau berjuang, introspeksi dan melihat kekurangan diri, maka dia tidak tahu, bahwa dirinya sakit dan banyak kekurangan. Jika dia tidak merasa sakit atau punya kekurangan, maka bagaimana mungkin dia akan memperbaiki diri atau berobat?

Wallahu a’lam, semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala melunakkan hati kita semua untuk menerima dan menjalankan kebenaran, amin ya Rabbal ‘alamin.


DAKWAH TIDAK DAPAT DIPIKUL ORANG MANJA

Oleh : DH Al-Yusni
Sumber :
http://www.dakwatuna.com

Wahai Saudaraku yang dikasihi Allah.

Perjalanan dakwah yang kita lalui ini bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi kegemerlapan dan kesenangan. Ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat.

Telah banyak sejarah orang-orang terdahulu sebelum kita yang merasakan manis getirnya perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus berpisah kaum kerabatnya. Ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang telah mengukir bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan terhadap dakwah.

Cobalah kita tengok kisah Dzatur Riqa’ yang dialami sahabat Abu Musa Al Asy’ari dan para sahabat lainnya –semoga Allah swt. meridhai mereka. Mereka telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kuku tercopot. Namun mereka tetap mengarungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan, mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanan dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini. Buat selamanya.

Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi kita sekalian. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan untuk dakwah ini tumbuh bersemi. Dan, kita pun dapat memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu karunia yang Allah swt. berikan melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhai mereka.

Duhai saudaraku yang dirahmati Allah swt.

Renungkanlah pengalaman mereka sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat At-Taubah: 42.

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka, mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.

Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat mengokohkan perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran. Demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.

Saudaraku seperjuangan yang dikasihi Allah swt.

Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu per satu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan.

Penyakit wahan telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai risiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 45-46)

Kesetiaan yang ada pada mereka merupakan indikasi kuat daya tahannya yang tangguh dalam dakwah ini. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya, ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang, ia akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.

Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah.

Marilah kita telusuri perjalanan dakwah Abdul Fattah Abu Ismail, salah seorang murid Imam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dakwahnya tanpa keluhan sedikitpun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dari waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja. Malah, ia yang membukakan pintu gerbangnya.

Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al-Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikannya sambil mengatakan, “Dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja.” Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah, tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah. Karena itu, pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” Ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu. Ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah swt. berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu. Terima kasih atas kebaikan ibu. Biarlah saya naik kendaraan umum saja.”

Duhai saudaraku yang dimuliakan Allah swt.

Itulah contoh orang yang telah membuktikan kesetiaannya pada dakwah lantaran keyakinannya terhadap janji-janji Allah swt. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah swt. telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan dakwah berupa berbagai anugerah-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)

Dengan janji Allah swt. tersebut, orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan dakwah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah swt. kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Dan, mereka pun tidak akan pernah mau merubah janji kepada-Nya.

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (Al Ahzab: 23)

Wahai ikhwah kekasih Allah swt.

Pernah seorang pejuang Palestina yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana diwawancarai. “Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Jawabnya, karena perjuangan. Dan, dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena dakwah dan perjuangan, kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” ungkapnya lirih.

Wahai saudaraku seiman dan seperjuangan

Aktivis dakwah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinyalah yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai rintangan dakwah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai risiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang terdahulu dalam perjalanan dakwah ini, belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk dakwah. Pengorbanan tenaga dalam amal khairiyah untuk kepentingan dakwah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan orang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah, lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencangnya hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.

Kesabaran adalah kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah swt.

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146)

Bila kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan dakwah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai dakwah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah dakwah ini.

Ingat, dakwah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi aktivis dakah merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan. Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan. Wallahu’alam.

ANGAN-ANGAN MULUK

Ketahuilah bahwa selama manusia itu tangannya masih bergelayut dengan angan-angan muluk untuk hidup di dunia maka selama itu pula kenikmatan dunia menjadi inti dari butir-butir angan-angannya. Dan masih ditambah lagi dengan keinginan jiwa yang tidak hendak lekang dari unsur kemaksiatan yang memoles kenikmatan dan syahwat dunia.

Di sisi lain syetan selalu membisikkan janji bahwa nanti pada penghujung usia akan datang kesempatan untuk bertaubat. Tapi ternyata kematian telah benar-benar di depan mata dan harapan untuk memperpanjang kesempatan hidup sudah tidak memungkinkan lagi baru ia akan menyadari bahwa dirinya selama ini telah dikungkung syahwat dunia. Ketika itu penyesalannya karena sikap meremehkan yang ia lakukan selama ini benar-benar telah mencapai puncaknya, hingga hampir saja membunuhnya. Yang ia mohon pada saat demikian adalah agar dirinya diberi kesempatan untuk kembali kepada kehidupan dunia untuk bertaubat dan beramal shalih.
Namun sayang tak satu pun dari permohonannya itu yang akan dikabulkan, sehingga selain kepayahan yang harus ia tanggung pada saat sakaratul maut ia juga harus membawa beban penyesalannya.

Di dalam kitab-Nya Allah telah memperingatkan kepada hamba-hamba-Nya untuk mempersiapkan diri mereka dengan taubat dan amal shalih sebelum kematian datang menjemput.

“Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserahdirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan, ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan, ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah’.”

Ada cerita dari orang-orang yang tengah meninggu saat-saat kematiannya datang, mereka mendengar ungkapan penyesalan seraya menampar-nampar wajah mereka sendiri, “Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah.” Adfa pula yang mengeluh,”Dunia telah tunduk kepadaku hingga hari-hariku lenyap begitu saja.”Yang lainnya mencoba mengingatkan,”Janganlah kalian tertipu kehidupan dunia seperti yang aku alami.”

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan, ‘Sekali-kali tidak, Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (Al-Mukminin:99-100).

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang diantara kamu. Lalu ia berkata, ‘Ya Rabbku, mengapa engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shalih ?’ Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya.” (Al-Munafiqun: 10-11).
“Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini.” (Saba: 54).

Orang-Orang Salaf, termasuk diantaranya Umar bin Abdul Aziz, menafsirkan ayat Saba: 54 ini bahwa ketika mereka memohon keturunannya taubat atas dosa-dosa merekadibentangkanlah tabir yang menghalangi mereka dengan taubat itu.

Al-Hasan mengatakan, “Wahai anak Adam, bertaqwalah kepada Allah, janganlah engkau menanggung dua beban bersama-sama : Sakaratul-maut, dan penyesalan“ Sedangkan As-Sammak mengatakan hal yang senada, ‘ Hindarilah olehmu, sakaratul-maut dan penyesalan. Yakni, ketika kematian datang menjemput dengan tiba-tiba sementara engkau masih terkungkung dalam kubangan tipu daya. Tak ada kata-kata yang dapat menggambarkan apa yang akan engkau hadapi dan apa yang akan engkau saksikan kelak.”

Allah berfirman,
“Wahai anak Adam jika engkau bergelimang dalam kenikmatanku namun juga berkubang dalam lumpur kedurhakaan kepada-Ku maka berhati-hatilah. Aku tidak akan mematikanmu dalam kedurhakaan kepada-Ku.” Namun menurut versi ajaran orang-orang Yahudi Israel firman Allah itu berbunyi, ‘Wahai anak Adam, berhati-hatilah. Allah tidak akan menghukumi dengan dosa kemudian menghantarkanmu bertemu dengan-Nya. Kematianmu dengan cara demikian tidak akan dapat engakau jadikan alasan untuk berkelit dari siksa.’

Kenyataan telah membuktikan bahwa kematian kebanyakan orang-orang yang mengabdikan hidupnya untuk kedurhakaan, sangat tragis. Ketika kematian itu datang mereka belum sempat membersihkan lumpur kedurhakaan, dan lumpur itulah yang menjadi sumber kehinaan mereka dalam perjalanan kehidupan dunia mereka sekaligus menjadi bahan-bahan yang akan dikonversi menjadi adzab akhirat. Kenyataan menunjukkan bahwa kematian dalam keadaan belum bersih semacam ini banyak terjadi pada mereka yang menderita ketergantungan pada cairan yang beralkohol itu. Orang mengatakan:

“Adakah engkau merasa terlindung
engkau pemabuk yang ulung
tanpa kau sadari kematian telah tersandung
pada saat engkau masih lindung
engkau menjadi ibrah umat manusia di muka bumi
engkau bertemu Allah sebagai orang yang paling keji.”

Ada cerita dari orang-orang dahulu yang mengisahkan sebuah katastrop pahit yang dialami seorang pemabuk. Pada suatu malam orang ini mabuk. Isterinya yang mengetahui kelakuan suaminya itu langsung mengumpatnya karena telah meningggalkan sholat. Dalam keadaan mabuk ia membalas umpatan isterinya itu dengan bersumpah ingin menceraikannya tiga kali berturut-turut dan tidak akan melakukan sholat selama tiga hari berturut-turut pula. Tapi begitu berpisah ia merasa tersiksa berpisah dengan isteri. Siksaan itu menimpanya selama tiga hari. Pada hari ketiga ajal menjemputnya dalam keadaan yang sama sekali tidak berubah : kecanduan minuman beralkohol itu dan meninggalkan sholat.

Sumber : Mahligai Taqwa Memetik Mutiara Hikmah Oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaly hal.106

APAKAH DUNIA ITU..?

Jawabnya bisa macam-macam. Tapi sebagaimana jika merupakan soal pilihan ganda, jawaban yang benar pasti cuma satu. Apakah itu ? Marilah kita lihat sekeliling kita. Inilah dunia kita. Kita keluar dari rahim ibu kita, tumbuh besar, masuk sekolah, lulus, bekerja, menumpuk harta, membangun rumah dan memperindahnya, menikah, punya anak, dan anak kita pun kita didik agar jadi seperti kita atau lebih sukses daripada kita. Apakah hanya seperti itu dunia ini ?

Tentu Tidak !!!. Setiap sesuatu pasti ada kesudahannya. Begitu pula hidup kita di dunia ini. Kita sekolah, kuliah, bekerja, menumpuk harta, toh kita nanti juga akan mati. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian”. (QS: Ali 'Imraan: 185).

Dan ketika sudah mati, harta dan anak yang kita punyai tak bisa menyertai diri lagi. Mati itu kesudahan hidup. Tapi masalahnya, mati itu bukan kesudahan segala-galanya. Masih ada lagi masalah sesudah mati, yaitu hari kebangkitan, perhitungan amal, dan penentuan akhir nasib kita. Alloh subhanahu wa ta'ala berfirman, yang artinya: "Kemudian Dia (Allah) mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur, kemudian jika Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”.(QS: 'Abasa : 21-22).

Dan Alloh subhanahu wa ta'ala juga berfirman, yang artinya: " Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam , supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka." (QS:Az-Zalzalah : 6).


Satu masalah lagi, amal yang akan dihitung dan ditimbang dan menentukan akhir nasib kita itu hanya bisa kita lakukan pada saat kita masih bisa menghembus nafas. Jika sudah tak bisa menghirup udara lagi, tak bisa pula kita mempersiapkan diri untuk hari itu.


Perkataan Ali bin Abi Thalib, " Sesungguhnya pada hari ini hanya ada amal tanpa perhitungan, dan besok (pada hari kiamat) hanya ada perhitungan tanpa amal."


Jadi, apakah dunia itu? Dunia adalah tempat persinggahan yang sementara saja, tidak kekal untuk selamanya. Yunus bin Abi Ubaid menjelaskan permisalan dunia, " Kehidupan dunia hanya bisa disamakan dengan orang yang tidur, dalam mimpinya melihat hal-hal yang ia senangi sekaligus yang ia benci, tapi ketika sedang menikmatinya, tiba-tiba ia terjaga. " Suka-duka hidup ini semisal mimpi-mimpi itu. Sedangkan terjaga dari mimpi adalah misal dari kematian.


Rasululloh shallallaahu 'alaihi wa sallam memaparkan tentang dunia dan diri beliau, "Apalah aku dan dunia ini !, Sesungguhnya permisalan aku dengan dunia adalah seperti seorang pengendara yang tidur di bayangan sebuah pohon. Kemudian pergi dan meninggalkan pohon tersebut." (HR: Ahmad, At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).

Umar bin Abdul-'Aziz berkata, " Dunia itu sesungguhnya bukan tempat yang kekal untuk kita. Allah sendiri telah menakdirkannya fana, dan kepada para penghuninya telah digariskannya hanya melewatinya saja."

Wahai saudaraku, dunia memang aset bagi umat manusia. Di dalamnya terkandung sebuah kekayaan, yakni bumi beserta segala isinya. Bumi sebagai tempat tinggal manusia, menyediakan kebutuhan sandang, pangan, minum dan tempat melangsungkan pernikahan. Semua itu, kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan untuk perjalanan kendaraan yang akan membawa badan anda menuju Allah. Sebab manusia hanya bisa bertahan dengan itu semua, sebagaimana onta yang digunakan sebagai kendaraan haji hanya bisa bertahan dengan memenuhi kebutuhannya. Ada di antara orang yang mengambil dari jatah kebutuhannya itu sebagaimana yang dianjurkan saja, dialah orang yang terpuji. Sementara ada pula orang yang mengambil dari jatah itu lebih dari kebutuhannya karena sifat rakusnya, orang yang demikian adalah tercela.

Dengan begitu, dia mengabaikan tujuan yang sebenarnya, dia tak lebih sebagai orang yang memberi makan onta, mengambilkan air minumnya dan menggantikan warna kelengkapan onta tersebut. Dia tak sadar bahwa rombongan telah berlalu, ditinggalkan seorang diri di gurun sebagai mangsa binatang buas bersama onta piaraannya.

Begitu pula dengan terlalu menahan diri untuk memenuhi kebutuhan, juga tidak beralasan. Sebab onta tidak kan kuat berjalan, kecuali keperluannya terpenuhi. Jalan yang tepat adalah mengambil jalan tengah, yakni mengambil bekal dari kehidupan dunia sekedar yang dibutuhkan untuk perjalanan saja.

Ketika Abu Shafwan Ar-Ru'ainy ditanya, " Apakah dunia yang Allah cela dalam Al-Qur'an, dan yang harus dijauhi oleh orang yang berakal?" Dia menjawab, " Segala yang Anda senangi di dunia, yang dengannya Anda tidak menghendaki kehidupan di akhirat, itulah yang tercela. Dan segala kenikmatan dunia yang Anda senangi, yang dengannya Anda menghendaki kehidupan akhirat, maka yang demikian itu tidak termasuk kehidupan dunia."


Perjalanan. Begitulah dunia itu hakikatnya. Dan setiap perjalanan ada tempat tujuannya. Dan untuk menuju kepada tujuan itulah kita seharusnya menyiapkan bekal kita.

Di dalam khutbahnya, Umar Ibnul-Khaththab menyatakan, " Setiap perjalanan mesti ada bekalnya, maka bekalilah perjalanan Anda dari dunia ke akhirat dengan takwa. Jadilah seperti orang yang melihat dengan mata kepalanya adzab yang Allah persiapkan baginya untuk kemudian disadari dan tumbuh perasaan takut. Janganlah Anda terlalu lama membiarkan waktu berlalu sehingga hati Anda terlalu mengeras."

Dalam khutbahnya, Umar bin Abdul-Aziz berkata,"... Berapa banyak orang yang membangun dengan kokoh setelah berselang beberapa waktu roboh, dan berapa banyak orang yang hatinya telah tercuri, ingin hidup menetap akhirnya harus meninggalkannya. Maka usahakanlah perjalanan dari dunia itu sebaik-baiknya dengan bekal terbbaik yang Anda miliki. Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bila dunia memang bukan tempat menetap bagi orang mukmin, maka dia harus menempatkan dirinya pada salah satu dari sikap-sikap berikut. Harus bersikap seakan-akan orang asing yang menetap di sebuah negeri asing yang tujuannya semata-mata mengumpulkan bekal untuk pulangke tanah airnya, atau bersikap seakan-akan seorang pengembara yang sama sekali tidak menetap tapi sepanjang hari dia terus berjalan menuju sebuah negeri tempatnya menetap kelak."

Al-Hasan menjelaskan sifat-sifat dunia, " Alangkah nikmatnya kehidupan alam dunia bagi orang-orang mukmin. Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."

Karena mereka senantiasa berbuat dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan surga. Dan sungguh keji dunia bagi orang kafir dan munafik, karena mereka membiarkan waktu malamnya berlalu, sementara bekalnya akan membawanya ke neraka."


Marilah lihat diri sendiri, sudah punya bekalkah kita semua ?, atau kita baru saja sadar bahwa kita ini ternyata hanyalah seorang pengembara yang harus kembali ke tanah airnya dan ternyata kita belum punya bekal secuilpun ! Wahai saudara, harta, istri, dan anak kita bukanlah bekal yang bisa kita bawa jika sudah tiba waktunya, tapi takwa itulah yang bisa menyertai kita.

Hasan bin 'Ali bercerita bahwa Fudhail bin Iyadl bertanya kepada seorang lelaki, "Berapa umurmu ?"

" Enam puluh tahun," jawab lelaki itu.

Lalu Fudhail berkata, "Sesungguhnya engkau telah enam puluh tahun menuju Tuhanmu, dan kini kau hampir sampai."

Lelaki itu berkata, "Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun ( Sesungguhnya kita ini milik Allah dan kepadaNya lah kita akan kembali )."

"Tahukah engkau bagaimana tafsirnya ?" tanya Fudhail.

"Tafsirkanlah kepada kami, wahai Abu 'Ali ( panggilan Fudhail) !" pinta si lelaki.

"Jika engakau mengatakan 'inna lillaahi' berarti engkau telah mengikrarkan bahwa engkau adalah hamba Alloh subhanahu wa ta'ala, dan kepada Allohlah engaku akan kembali. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia adalah hamba Alloh subhanahu wa ta'ala dan kepada Alloh subhanahu wa ta'ala dia akan kembali, maka ketahuilah bahwa ia akan mati. Dan barangsiapa yang mengetahui ia akan mati, maka ketahuilah ia akan ditanya. Dan barangsiapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya, maka bersiap-siaplah untuk menjawabnya."

"Lalu bagaimana cara kami mempersiapkannya ?" tanya lelaki itu lagi.

" Penuhilah !" jawab Fudhail.

" Apa yang harus kupenuhi ? " tanyanya.

Fudhail menjawab, "Perbaikilah amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu di masa lalu dan yang akan datang. Dan jika engkau memperjelek amalan-amalanmu yang akan datang, niscaya Alloh kan menyiksamu lantaran dosa-dosamu yang telah kamu perbuat di masa lalu dan yang akan datang. "


Takwa yang merupakan bekal perjalanan ini adalah berujud sebagai amalan -amalan sholih. Maka marilah ingati hal ini. Beramallah dengan bagus, dengan niat yang ikhlas dan sesuai syari'at.

Seperti seorang pengembara yang akan pulang menuju negerinya, ia harus mengetahui kiat-kiat dan cara-cara mempersiapkan bekal yang tepat agar bekal yang ia bawa dapat memberi manfaat bagi dirinya. Jangan sampai bekal yang ia bawa mengundang perampok - perampok yang akan menghabisi dirinya. Jangan pula bekal yang ia bawa dapat diendus binatang buas yang akan menggerogoti bekalnya. Maka untuk menghindari hal itu, sang pengembara harus tahu bagaimana mempersiapkan bekal yang tepat. Ia harus tahu ilmunya dulu.


Semisal itulah kita, agar amalan - amalan yang kita lakukan benar-benar dapat memberi manfaat bagi diri kita, kita harus tahu kiat-kiat dan cara-cara beramal sholih yang tepat. Jangan sampai kita melakukan amal sholih tapi tidak diniatkan kepada Allah. Jangan pula kita sudah berpayah - payah beramal sholih tapi ternyata tidak pernah dituntunkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam sehhingga amalan kita tidak diterima.

Lalu bagaimana untuk tahu cara-cara dan kiat-kiat beramal tersebut ? Reguklah ilmu -ilmu agama, bertamasyalah ke majelis -majelis pengajian, bercengkeramalah dengan ahli -ahli ilmu agama, niscaya kita akan tahu bekal bagaimanakah yang harus kita punyai untuk kembali ke haribaan Ilahi nanti.

Jadi ? Inilah dunia kita. Yang sebenarnya hanyalah tempat persinggahan sementara saja. Walaupun begitu, kita diperbolehkan mengambil perbendaharaan dunia secukupnya saja dan hanya yang halal saja. Namun, ingatlah, setelah itu kita akan kembali pada Yang Maha Pencipta dan kita akan ditanyai, amal akan dihitung, nasib akan ditentukan, ke neraka ataukah ke surga ?. Supaya kita sukses dalam perjalanan ini, maka bekal terbaik adalah takwa di mana ia adalah amalan - amalan sholih. Dan agar bekal amal sholih tersebut terhindar dari perampok syirik dan serigala bid'ah, maka kita harus tahu cara-cara mempersiapkannya. Sedangkan cara-cara tersebut hanya bisa diketahui lewat regukan-regukan ilmu agama di majelis-majelis taklim.

Sumber : Media Muslim

KHUSYUK DALAM SHOLAT

Shalat, kata Sa'id Hawwa, adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa). Pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran dalam tazkiyah. Shalat adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna ubudiyah, tauhid, dan syukur.

Shalat adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rubbubiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian. "Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran." (Al-Ankabut 29).

Shalat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, syarat, dan sunahnya. Secara lahir, kita menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan. Secara batin, kita khusyuk dalam melaksanakannya.

Khusyuk itulah yang menjadikan shalat punya peran yang lebih besar dalam thahhir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatin nafs berkisar seputar hal ini.

Amalan shalat yang bersifat lahiriah, kita melihat, masih dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam. Tetapi, apakah kita khusyuk melaksanakannya, masih menjadi tanda tanya besar. Nabi saw. bersabda, "Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyukan." (HR Thabrani). Padahal, khusyuk merupakan tanda pertama orang-orang beruntung (Al-Mu'minun 1-2). Orang-orang khusyuk adalah orang-orang yang berhak mendapat kabar gembira dari Allah SWT. (Al-Hajj:34-35).

Demikian pentingnya kedudukan khusyuk, hingga ketidakberadaannya berarti rusaknya hati dan keadaan. Baik dan rusaknya hati tergantung kepada ada dan tidaknya khusyuk ini. Sesungguhnya khusyuk merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati.

Jika khusyuk telah sirna berarti hati telah rusak. Bila khusyuk tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit, maka kecenderungan kepada akhirat akan hilang. Bila hati telah sakit maka sumber-smber kebaikan bagi kaum Muslimin pun hilang. Cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.

Hilangnya khusyuk pertanda hilangnya kehidupan. Dia sulit menjadi penerima nasihat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkan, tatkala hawa nafsu mendominasi hati, segala nasihat dan peringatan tak lagi bermanfaat, maka berbagai syahwat pun merajalela. Dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta, dan nafsu syahwat. Bila hal-hal ini mendominasi kehidupan, maka tidak akan terwujud kebaikan dunia maupun agama.

Khusyuk adalah ilmu sebagaimana ditegaskan hadis Nabi Saw. Ilmu ini tidak banyak yang mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang khusyuk yang bisa mengantarkan Anda kepadanya. maka berpegang teguhlah kepadanya. Orang berilmu itulah tanda ulama akhirat.

Sesungguhnya ilmu khusyuk berkaitan dengan ilmu penyucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatan. Masalah ini merupakan tema yang amat luas sehingga para ulama akhirat memulainya dengan mengajarkan zikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sampai hatinya hidup. Bila hati telah hidup berarti mereka telah membersihkan dari berbagai sifat yang tercela dan mengantarkannya kepada sifat-sifat terpuji. Di sinilah perlunya membiasakan hati khusyuk melalui kehadiran bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan.

Resep Al-Ghazali
Khusyuk dalam shalat merupakan ukuran dan tanda kekhusyukan hati. Bagaimana khusyuk dihadirkan? Al-Ghazali menawarkan resep berikut. Lahiriah perintah, kata Al-Ghazali, adalah wajib, sedangkan lalai adalah lawan ingat. Yang lalai dalam semua shalatnya, bagaimana mungkin dia bisa mendirikan shalat untuk mengingat-Nya?

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Minimum saat mulai takbiratul ihram. Kurang dari ini adalah kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati, semakin bertambah pula ruh tersebut ada dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup tapi tidak punya daya gerak hingga seperti mayit. Demikian pula orang yang lalai dalam seluruh pelaksanan shalat kecuali pada waktu takbiratul ihram. Seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali.

Ketahuilah, kata Al-Ghazali, makna batin memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam kalimat. Yaitu: kehadiran hati, tafahhum, takzim, haibah, raja'da haya'. Kehadiran hati ialah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak perlu hingga dia senantiasa sadar, tidak berpikiran liar. Tafahhum adalah paham terhadap makna. Takzim itu rasa hormat. Haibah adalah rasa takut yang bersumber dari rasa hormat. Raja' adalah pengharapan dan haya adalah rasa malu.

Faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah atau perhatian utama. Tafahhum berasal dari kebiasan berpikir untuk mengetahui makna. Takzim lahir dari dua makrifat (terhadap kemuliaan dan keagungan Allah dan terhadap kehinaan dan kefanaan dirinya). Haibah datang dari makrifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya. Penyebab timbulnya raja' adalah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasaan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. Sedang haya' muncul melalui perasaan serbakurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuan menunaikan hak-hak Allah.

Berdasarkan itu, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, orang lalai yang mendirikan shalat, tetapi hatinya tidak hadir sama sekali. Orang yang mendirikan shalat dengan hati tak pernah lalai sama sekali. Ketiga orang lalai yang tidak mendirikan shalat.

Yang terbaik adalah tipe kedua. Dia tidak pernah lalai dalam shalat dan selalu menghidupkan hatinya. Dia bisa sangat konsentrasi sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Bahkan sebagian orang wajahnya pucat dan dadanya berguncang karena takut. Ini tak mustahil dicapai manusia. Apalagi banyak orang mengalami hal serupa karena takut pada raja dunia.

Jika kita termasuk orang yang menginginkan akhirat, hendaknya tidak melalaikan berbagai peringatan yang terdapat dalam syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Syarat-syarat yang mendahului shalat adalah azan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat.

Ketika mendengar seruan muazin hadirkanlah dalam hati gambaran dahsyatnya seruan hari kiamat dan bersegeralah dengan lahir dan batin untuk segera memenuhinya. Orang-orang yang bersegera memenuhi seruan ini adalah orang-orang yang dipangil dengan penuh lemah lembut pada hari 'pergelaran akbar'. Arahkan hati kepada seruan ini. ''Jika kita bisa mendapatinya dengan penuh kegembiraan, kesenangan, selalu berkeinginan untuk memulainya, maka ketahuilah rasa khusyuk akan datang kepadamu,'' kata Said Hawwa dalam buku Tazkiyatun Nafs. (Menyucikan Jiwa).

dikutip dari Harian Republika Edisi 7 Maret 2003

PERJALANAN KESEMPURNAAN KEPRIBADIAN

Abdul Fattah Rashid Hamid, Ph.D, seorang psikolog Muslim menyebutkan bahwa perjalanan setiap individu dalam menuju kesempurnaan kepribadian akan melewati tingkatan kepribadian sebagai berikut:

Kepribadian tingkat 1 : An-Nafs al-Ammarah
Pada tingkat ini manusia condong pada hasrat dan kenikmatan dunia. Minatnya tertuju pada pemeliharaan tubuh, kenikmatan selera-selera jasmani dan pemanjaan ego. Di tingkat ini iri, serakah, sombong, nafsu seksual, pamer, fitnah, dusta, marah dan sejenis-nya, menjadi palng domonan.

Kepribadian tingkat 2 : An-Nafs al-Lawwamah
Pada tingkat ini manusia sudah mulai melawan nafsu jahat yang timbul, meskipun ia masih bingung tentang tujuan hidupnya. Jiwanya sudah melawan hasrat-hasrat rendah yang muncul. Diri masih menjadi subyek yang dikendalikan hasrat-hasrat yang bersifat fisik, ia masih sering tertipu oleh muslihat dunia yang sementara ini.

Kepribadian tingkat 3 : An-Nafs al-Mulhima
Pada tingkat ini manusia sudah menyadari cahaya sejati tidak lain adalah petunjuk Alloh. Semangat taqwa dan mencari ridho Alloh adala semboyanya. Ia tidak lagi mencari kesalahan-kesalahan orang lain tetapi ia selalu introspeksi untuk menjadi hamba Alloh yang lurus. Ia selalu zikir dan mengikuti sunah nabi Muhammmad saw.

Kepribadian tingkat 4 : An-Nafs al-Qona'ah
Pada tingkat ini hati telah mantap, merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak tertarik dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Ia sudah tidak ingin berlomba untuk menyamai orang lain. Ketinggalan 'status' baginya bukan berarti keterbelakangan dan kebodohan. Ia menyadari bahwa ketidak puasan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan Alloh menunjukkan keserakahan dan ketidak matangan pribadi. Pada tingkat ini, manusia mengetahui bahwa seseorang tidak dapat memperoleh kebaikan apa pun kecuali dengan kehendak Alloh. Hanya Alloh yang mengetahui apa yang terbaik dalam situasi apa pun.

Kepribadian tingkat 5 : An-Nafs al-Mut'mainnah
Pada tingkat ini manusia telah menemukan kebahagiaan dalam mencintai Alloh swt. Ia tidak ingin memperoleh "pengakuan" dari masyarakat atau pun tentang tujuannya. Jiwanya telah tenang, terbebas dari ketegangan, karena pengetahuanya telah mantap bahwa segala sesuatu akan kembali pada Alloh. Ia benar-benar telah memperoleh kualitas yang sangat baik dalam ketenangan dan keheningan.

Kepribadian tingkat 6 : An-Nafs al-Radiyah
Ini adalah ciri tambahan bagi jiwa yang puas dan tenang. Ia merasa bahagia karena Alloh ridho padanya. Ia selalu waspada akan tumbuhnya keengganan yang paling sepele terhadap kodratnya sebagai abdi Tuhan. Ia menyadari bahwa Islam adalah fitrah insan dan ia pun haqqul yaqin pada firman Alloh,""..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu..". Ia patuh pada Alloh semata-mata hanya sebagai perwujudan rasa terima kasih-nya.

Kepribadian tingkat 7 : An-Nafs al-Kamilah
Ini adalah tingkat manusi yang telah sempurna (al-Insan al-Kamil). Kesempurnaanya adalah kesempurnaan moral yang telah bersih dari semua hasrat kejasmanian sebagai hasil kesadaran murni akan pengetahuan yang sempurna tentang Alloh. "Selubung diri"-nya telah terbuaka hanya mengikuti kesadaran Ilahi. Nabi Muhammad saw adalah contoh manusia yang telah sampai pada tingkat ini. Kepribadianya mengungkapkan segala hal yang mulia dalam kodrat manusia


Yang menjadi pertanyaan adalah di tingkat manakah diri saya dan anda berada ?


PENTINGNYA SABAR DI DALAM BERDAKWAH

Sabar di dalam berdakwah memiliki peran amat penting dan sebagai kewajiban bagi seorang da’i. Sabar, secara umum merupakan kewajiban bagi setiap muslim, namun bagi seo-rang da’i, ia lebih dan sangat ditekan-kan. Oleh karena itu, Allah memerin-tahkan kepada pemimpin para da’i dan teladan mereka, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk bersikap sabar, Dia berfirman, “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”. (QS. 16:127-128)

Di dalam ayat yang lain disebut-kan,“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.(Qs. Al-Ahqaaf: 35)

Juga firman-Nya yang lain, artinya, “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka.” (QS. 6: 34)

Jika Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saja, yang beliau adalah manusia paling mulia, penghulu Bani Adam masih diperintahkan untuk bersabar, maka bagaimana lagi dengan kita?

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menjelaskan kepada kita semua, bahwa kehidupan ini penuh dengan ujian dan cobaan. Salah satu hikmah diturunkannya cobaan dan ujian adalah agar diketahuai mana orang yang jujur dan yang dusta, mana yang benar-benar mukmin dan yang munafik, mana yang bersabar dan mana yang tidak.

Seorang da’i membutuhkan kesabaran yang ekstra kuat, hal ini karena keberadaan seorang da’i lain dengan masyarakat pada umumnya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah memberitahukan, bahwa semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin berat ujian yang dihadapi, beliau bersabda, “Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, lalu yang semisal mereka. Seseorang diberi ujian berdasarkan tingkatnya dalam beragama.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Hakim. Dihasankan oleh al-Albani)

Maka kesabaran bagi seorang da’i amatlah penting, di antara pentingnya kesabaran di dalam berdakwah adalah sebagai berikut:

1. Sabar di dalam Berdakwah Ibarat Kepala bagi Badan
Dapat dikatakan, bahwa tidak ada dakwah yang tanpa kesabaran, sebagai-mana tidak ada badan yang tanpa kepala. Jika kepala lepas dari badan, maka itu artinya kematian. Oleh karena itu, Iman Ibnu Qayim mengatakan, ”Kedudukan sabar terhadap iman, ibarat kedudukan kepala terhadap badan. Maka tidak ada iman bagi orang yang tidak punya kesabaran, sebagaimana jasad juga tak berarti tanpa adanya kepala.” Jika dalam keimanan yang sifatnya masih individual dibutuhkan kesabar-an, maka dalam dakwah yang skupnya lebih luas dan kompleks sudah barang tentu sangat lebih dibutuhkan lagi.

2. Sabar Merupakan Salah Satu Empat Rukun Kebahagiaan.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. 103:1-3)

3. Sabar Termasuk Akhlak Paling Agung.
Kesabaran merupakan akhlak yang dibutuhkan oleh setiap muslim secara umum dan lebih khusus para da’i. Para ulama telah banyak menying-gung masalah pentingnya sabar dalam banyak risalah dan karya mereka.

4. Sabar Termasuk Perkara Paling Penting.

5. Sabar Merupakan Pendekatan Diri kepada Allah yang Utama
Di dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa hanya kesabaranlah yang akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang tidak terhitung. Hal ini menunjukkan, bahwa ia merupakan amal yang sangat utama dan tinggi kedudukannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. 39:10

6. Kesabaran Meringankan Penderitaan
Setiap muslim dan terutama para da’i pasti menghadapi tantangan dalam hidupnya, karena seorang da’i menga-jak manusia untuk meninggalkan hawa nafsu dan syahwat yang dibenci oleh Allah, tunduk terhadap perintah-Nya, berhati-hati terhadap batasan-batasan-Nya serta menjalankan apa yang disyariatkan oleh-Nya. Maka orang-orang yang berseberangan dengan dakwahnya, pasti akan memusuhi dengan segenap tenaga bahkan bila perlu dengan angkat senjata. Menghadapi rintangan semacam ini seorang da’i mau tidak mau harus me-megang kayakinan dengan teguh dan bersabar, karena sabar merupakan pedang yang tak pernah tumpul dan sinar yang tak kenal redup.

7. Sabar Adalah Sifat Para Nabi
Para nabi dan rasul alaihimussalam mendapatkan keselamatan, kesukses-an dan kekuatan dikarenakan sikap sabar mereka. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Maka bersabarlah Kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. 30: 60) Lukman al-Hakim, seorang yang telah diberikan hikmah oleh Allah, telah mewasiatkan kesabaran kepada anaknya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala , “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari per-buatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. 31:17)

8. Dengan Kesabaran Seorang Da’i Menjadi Teladan
Seorang dai hendaknya menjadi teladan bagi masyarakatnya, sebagai-mana ini merupakan salah satu sifat hamba yang ideal (Ibadur Rahman). Keteladanan dalam beragama tidak akan didapat, kecuali dengan bersabar, karena Allah telah menetapkan, bahwa imamah (keteladanan) hanya didapati oleh mereka yang sabar dan yakin ter-hadap ayat-ayat Allah. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. 32:24)

9. Sabar Menghantarkan Kepada Pertolongan Allah.
Hal ini tentunya bukan berarti dengan meninggalkan usaha, karena pertolongan dari Allah tidak mungkin tercapai dengan sendirinya tanpa melakukan sebab- sebab yang mengan-tarkan kepadanya. “Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah menge-tahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. 3:120) “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang- orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS. 3:186) Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan perihal Nabi Yusuf, bahwasanya dia mendapatkan pertolongan dikarenakan kesabaran-nya. Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya, “Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami”. Sesungguh-nya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (QS. 12:90)

10. Sabar Merupakan Kumpulan Berbagai Akhlak Luhur
Di dalam sabar termuat berbagai macam akhlak yang mulia, di antaranya adalah santun, lembut, ramah, pemaaf, toleran, lapang dada, adil, menyembunyikan aib orang dan lain sebagainya. Seorang da’i akan menghadapai orang yang memiliki berbagai macam karak-ter. Ada yang banyak bertanya, sering membuat jengkel, malas, pembuat onar, menghadapi pertengkaran dan lain-lain, maka menghadapi masyara-kat yang bermacam-macam dibutuhkan kesabaran yang tinggi.

11. Sabar adalah Separuh Iman
Sabar dan Syukur adalah inti keimanan, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. 14:5) Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah menyifati seorang mukmin dengan sifat yang menakjub-kan, sifat itu tidak akan didapati, kecuali pada seorang mukmin, yaitu, “Kalau mendapatkan kelapangan, maka ia bersyukur, yang demikian adalah baik baginya. Dan apabila ditimpa kesempitan, maka ia bersabar dan itu pun baik baginya juga.” (HR. Muslim)

12. Sabar Merupakan Sebab Untuk Meraih Kesempurnaan
Kesempurnaan iman hanya akan dapat diraih dengan kemauan keras dan keteguhan. Oleh karena itu, dalam sebuah riwayat disebutkan doa berikut, “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keteguhan dari setiap urusan dan kemauan keras dalam meraih petunjuk.” Keteguhan dan kemauan yang keras tidak akan dapat berdiri dengan tegak, tanpa adanya pondasi kesabaran.

13. Kesabaran Merupakan Sarana Melatih Diri
Seorang da’i harus melatih diri untuk menjauhi perkara-perkara yang tidak selayaknya dilakukan olehnya seperti berkeluh kesah, bosan, patah semangat, terburu-buru, marah, takut, rakus, mendahulukan hawa nafsu dan lain-lain. Hanya dengan membiasakan bersikap sabar, ia akan mampu menjauhi semua itu, sehingga ia dapat bersikap proporsional dan adil dalam berbagai permasalahan, mempertimbangkan sesuatu dengan matang dan dengan pemikiran yang jernih. Akhirnya dakwah yang disampaikan menjadi lebih mengena, karena ia dapat mencari waktu yang tepat, metode yang sesuai dan penuh dengan hikmah.

14. Sabar Mempunyai Kedudukan yang Tinggi.
Di dalam beberapa firman Allah, sabar selalu bergandengan dengan sifat-sifat mulia yang lain, seperti yakin, syukur, tawakkal, shalat, tasbih dan istighfar, jihad, taqwa, al-haq, belas kasih dan sebagainya.

15. Kebaikan Dunia Akhirat Bagi Orang yang Sabar
Kebaikan bagi orang sabar: Allah beserta orang yang sabar; Allah mencintai orang yang sabar; Mendapatkan kesejahteraan dan rahmat dari Allah; Mendapatkan pertolongan; Dijaga dari tipu daya musuh dan yang paling penting adalah ia berhak mendapatkan surga, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , Artinya, “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya", (QS. 25:75)

Diringkas dari buku, “Anwa’u ash-Shabr wa Majalatihi fi Dlau’ al-Kitab wa as-Sunnah,” hal 7-27 Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani.

dari Al-Sofwah

HIKMAH DI BALIK MUSIBAH SAKIT

Pendahuluan

Orang yang sedang ditimpa penyakit tidak perlu dicekam rasa takut selama ia mentauhidkan Allah dan menjaga shalatnya. Bahkan, meskipun di masa sehatnya ia banyak berkubang dalam dosa dan maksiat, karena Allah itu Maha Penerima taubat sebelum ruh seorang hamba sampai di kerongkongan. Dan sesungguhnya di balik sakit itu terdapat hikmah dan pelajaran bagi siapa saja yang mau memikirkan-nya, di antaranya adalah:

1. Mendidik dan menyucikan jiwa dari keburukan.

Allah Ta'ala berfirman, artinya, “Apa saja musibah yang menimpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy Syura: 30)

Dalam ayat ini terdapat kabar gembira sekaligus ancaman jika kita mengetahui bahwa musibah yang kita alami adalah merupakan hukuman atas dosa-dosa kita. Imam al Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu bahwa Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda: ”Tidak ada penyakit, kesedihan dan bahaya yang menimpa seorang mukmin hinggga duri yang menusuknya melain-kan Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya dengan semua itu.”

Dalam hadits lain beliau bersabda: “Cobaan senantiasa akan menimpa seorang mukmin, keluarga, harta dan anaknya hingga dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” Sebagian ulama salaf berkata, “Kalau bukan karena musibah-musibah yang kita alami di dunia, niscaya kita akan datang di hari kiamat dalam keadaan pailit.”

2. Mendapatkan kebahagiaan (pahala) tak terhingga di akhirat.

Itu merupakan balasan dari sakit yang diderita sewaktu di dunia, sebab kegetiran hidup yang dirasakan seorang hamba ketika di dunia akan berubah menjadi kenikmatan di akhirat dan sebaliknya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, ”Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Dan dalam hadits lain disebutkan, ”Kematian adalah hiburan bagi orang beriman.” (HR .Ibnu Abi ad Dunya dengan sanad hasan). At Tirmidzi meriwayatkan dari Jabir secara marfu’, ”Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dicabik-cabik ketika di dunia karena iri melihat pahala orang-orang yang tertimpa cobaan.”

3. Allah dekat dengan orang sakit.

Dalam hadits qudsi Allah berfirman: ”Wahai manusia, si fulan hamba-Ku sakit dan engkau tidak membesuknya. Ingatlah seandainya engkau membesuknya niscaya engkau mendapati-Ku di sisinya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah)

4. Sebagai parameter kesabaran seorang hamba.

Sebagaimana dituturkan, bahwa kalau seandainya tidak ada ujian maka tidak akan tampak keutamaan sabar. Apabila ada kesabaran maka akan muncul segala macam kebaikan yang menyertainya, namun jika tidak ada kesabaran maka akan lenyap pula kebaikan itu.

Anas Radhiallaahu anhu meriwayatkan sebuah hadits secara marfu’, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung pada besarnya cobaan. Jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan mengujinya dengan cobaan. Barang siapa yang ridha atas cobaan tersebut maka dia mendapat keridhaan Allah dan barang siapa yang berkeluh kesah (marah) maka ia akan mendapat murka Allah.”

Apabila seorang hamba bersabar dan imannya tetap tegar maka akan ditulis namanya dalam daftar orang-orang yang sabar. Apabila kesabaran itu memunculkan sikap ridha maka ia akan ditulis dalam daftar orang-orang yang ridha. Dan jikalau memunculkan pujian dan syukur kepada Allah maka dia akan ditulis namanya bersama-sama orang yang bersyukur. Jika Allah mengaruniai sikap sabar dan syukur kepada seorang hamba maka setiap ketetapan Allah yang berlaku padanya akan menjadi baik semuanya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, “Sungguh menakjubkan kondisi seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika memperoleh kelapangan lalu ia bersyukur maka itu adalah baik baginya. Dan jika ditimpa kesempitan lalu ia bersabar maka itupun baik baginya (juga).”

5. Dapat memurnikan tauhid dan menautkan hati kepada Allah.

Wahab bin Munabbih berkata, “Allah menurunkan cobaan supaya hamba memanjatkan do’a dengan sebab bala’ itu.” Dalam surat Fushilat ayat 51 Allah berfirman, artinya, “Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia banyak berdo’a.”

Musibah dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlas dalam memohon. Dengan kembali kepada Allah (inabah) seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita. Apabila seseorang ditimpa musibah baik berupa kefakiran, penyakit dan lainnya maka hendaknya hanya berdo’a dan memohon pertolongan kepada Allah saja sebagiamana dilakukan oleh Nabi Ayyub 'Alaihis Salam yang berdoa, “Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya, ”(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang”. (QS. Al Anbiyaa :83)

6. Memunculkan berbagai macam ibadah yang menyertainya.

Di antara ibadah yang muncul adalah ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Berapa banyak musibah yang menyebabkan seorang hamba menjadi istiqamah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah menjauhkan diri dari kesesatan. Amat banyak hamba yang setelah di timpa sakit ia mau memulai bertanya persoalan agamanya, mulai mengerjakan shalat dan berbuat kebaikan, yang kesemua itu tak pernah ia lakukan sebelum menderita sakit. Maka sakit yang dapat memunculkan ketaatan-ketaatan pada hakekatnya merupakan kenikmatan baginya.

7. Dapat mengikis sikap sombong, ujub dan besar kepala.

Jika seorang hamba kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampaui batas, lupa awal kejadiannya dan lupa tujuan akhir dari kehidupannya. Akan tetapi ketika ia ditimpa sakit, mengeluarkan berbagai kotoran, bau tak sedap,dahak dan terpaksa harus lapar, kesakitan bahkan mati, maka ia tak mampu memberi manfaat dan menolak bahaya dari dirinya. Dia tak akan mampu menguasai kematian, terkadang ia ingin mengetahui sesuatu tetapi tak kuasa, ingin mengingat sesuatu namun tetap saja lupa. Tak ada yang dapat ia lakukan untuk dirinya, demikian pula orang lain tak mampu berbuat apa-apa untuk menolongnya. Maka apakah pantas baginya menyombongkan diri di hadapan Allah dan sesama manusia?

8. Memperkuat harapan (raja’) kepada Allah.

Harapan atau raja’ merupakan ibadah yang sangat utama, karena menyebabkan seorang hamba hatinya tertambat kepada Allah dengan kuat. Apalagi pada penderita sakit yang telah sekian lama berobat kesana kemari namun tak kunjung sembuh. Maka dalam kondisi seperti ini satu-satunya yang jadi tumpuan harapan hanyalah Allah semata, sehingga ia mengadu: “Ya Allah tak ada lagi harapan untuk sembuhnya penyakit ini kecuali hanya kepada-Mu.” Dan banyak terbukti ketika seseorang dalam keadaan kritis, ketika para dokter sudah angkat tangan namun dengan permohonan yang sungguh-sungguh kepada Allah ia dapat sembuh dan sehat kembali. Dan ibadah raja’ ini tak akan bisa terwujud dengan utuh dan sempurna jika seseorang tidak dalam keadaan kritis.

9. Merupakan indikasi bahwa Allah menghendaki kebaikan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah n bersabda, ”Barang siapa yang dikehen-daki oleh Allah kebaikan maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR al Bukhari). Seorang mukmin meskipun hidupnya sarat dengan ujian dan musibah namun hati dan jiwanya tetap sehat.

10. Allah tetap menulis pahala kebaikan yang biasa dilakukan oleh orang yang sakit.

Meskipun ia tidak lagi dapat melakukannya atau dapat melakukan namun tidak dengan sem-purna. Hal ini dikarenakan seandainya ia tidak terhalang sakit tentu ia akan tetap melakukan kebajikan tersebut, maka sakinya tidaklah menghalangi pahala meskipun menghalanginya untuk melakukan amalan. Hal ini akan terus berlanjut selagi dia (orang yang sakit) masih dalam niat atau janji untuk terus melakukan kebaikan tersebut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Amr dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam, ”Tidak seorangpun yang ditimpa bala pada jasadnya melainkan Allah memerintah-kan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman kepada malaikat itu, “Tulislah untuk hambaKu siang dan malam amal shaleh yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian denganKu.”

11. Sakit dapat menghantarkan ke manzilah (kedudukan) tertentu di Surga.

Terkadang seorang hamba memiliki manzilah di Surga, akan tetapi amalnya tidak dapat mengantarkannya ke sana maka Allah menimpakan kepadanya berbagai ujian secara bertubi-tubi sehingga sampailah ia kepada manzilah tadi, sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Hibban dari Abu Hurairah.

12. Dengan sakit akan diketahui besarnya makna sehat.


Jika seseorang selalu dalam keadaan sehat maka ia tidak akan mengetahui derita orang yang tertimpa cobaan dan kesusahan, dan ia tidak akan tahu pula besarnya nikmat yang ia peroleh. Maka ketika seorang hamba sakit, ia ingin agar bisa segera pulih sebagaimana kondisi semula ketika sehat, sebab setelah sakit itulah ia akan tahu apa artinya sehat.

Hendaknya seorang hamba bersabar dan memuji Allah ketika tertimpa musibah, sebab walaupun ia sedang sakit maka tentu masih ada orang lain yang lebih parah, dan jika tertimpa kefakiran maka pasti ada yang lebih fakir lagi. Hendaknya ia melihat sakit yang diderita dengan nikmat yang telah diterima dan dengan memikirkan faedah dan manfaat dari sakitnya. Dalam urusan agama seseorang harus memandang yang diatasnya agar tidak merasa bahwa dirinyalah orang yang terbaik, sedang dalam urusan dunia ia harus memandang orang yang ada di bawahnya agar menimbulkan rasa syukur dan melahirkan pujian kepada Allah.

13. Bagi seorang hamba (muslim) sakit merupakan rahmat bukan siksa.

Firman Allah, artinya. “Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Menge-tahui.” (QS. an Nisaa:147)

Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengenal Allah dan hikmahNya, meskipun demikian Allah tetap menyayanginya karena itu semua disebabkan ketidak tahuan, kelemahan dan kekurangannya.

(Dari nasyrah Darul Wathan, Min fawaidil maradh. Subakir Ahmad)
Dari Buletin Al-Sofwah


.

PENGENDALI HAWA NAFSU

Definisi Hawa Nafsu

Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tak ada selera terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis lainnya niscaya tidak akan tergerak untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis tersebut.Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya.

Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang ditimbulkannya.

Peredam Hawa Nafsu

Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

Lalu bagaimana solusi bagi orang yang sudah terjerat dari hawa nafsu agar terlepas dari jeratannya? Ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi berikut :

1. Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya.

2. Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.
Kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniaannya meminum seteguk kesabaran tersebut. Karena hakikat keberanian tersebut adalah sabar barang sesaat! sebaik-baik bekal dalam hidup seseorang hamba adalah sabar!.

3. Selalu memeperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.

4. Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.
Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.

5. Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaanya daripada kelezatan kemaksiatan.

6. Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah azza wa jalla suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal). Allah berfirman : Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shaleh. (At-Taubah:120). Dan salah satu tanda cinta yang benar adalah membuat kemarahan musuh kekasih yang dicintainya dan menaklukannya (musuh kekasih tersebut).

7. Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar, yaitu beribadah kepada Allah pencipta dirinya. Perkara tersebut tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.

Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabi'at yang dimilikinya, hewan tahu mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang membahayakan. Manusia telah diberi akal untuk membedakannya, jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau mengetahui tetapi lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik dari pada dirinya.

Maraji : Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah, 50 Terapi Hawa Nafsu , Pustaka Tibyan (ngajisalaf)

SARANA-SARANA PENYUCIAN DIRI

Penyucian dan pembersihan diri dari segala keburukan serta mengangkatnya ke tingkat moralitas yang luhur merupakan tugas penting para Rasul yang memang diutus untuk membawa misi demikian. Sebagian besar hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun diabdikan untuk misi yang sama karena moralitas yang luhur merupakan salah satu pokok dasar untuk memulai kehidupan secara islami menurut manhaj kenabian.

Orang yang hendak merancang tujuan tentu dia akan menyiapkan pula sarananya. Dalam analogi yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan berbagai macam sarana penyucian diri. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskannya secara rinci kepada umatnya agar mereka bisa mencapai tujuan dimaksud. Oleh karena itu, penyucian diri tidak memiliki amalan-amalan khusus selain syi’ar-syi’ar islam. Hal itu akan dijelaskan melaui tiga kaidah sebagai berikut:

Menginduksi Syi’ar-Syi’ar Agama Secara Keseluruhan
Ketika menyimpulkan syi’ar-syiar islam dan mengaitkannya dengan tujuan moralitas luhur ini maka akan tampak jelas bahwa proses penyucian diri tidak memiliki amalan-amalan khusus.

Tauhid merupakan sarana penyucian diri

Kesadaran diri terhadap kebenaran adalah pangkal kemuliaan dan induk moralitas yang luhur. Pangkal hikmah adalah ma’rifat (penganalan), menyembah, dan takut kepada Allah ta’ala. Tak ada kebenaran yang lebih besar dan lebih jelas menurut orang yang berakal, selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu menyekutukan Allah merupakan tindakan kotor lagi najis, sebagaimana yang difirmankan Allah :”Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”. (At-Taubah:28).

Demikianlah ungkapan Al-Qur’an yang menilai ruh orang-orang musyrik itu najis dan jiwa mereka pun kotor. Ruh dan jiwa mereka itu menjadi ukuran penilaian seberapa bagus kualitas manusia itu. Dengan demikian, manusia secara keseluruhan adalah najis, menjijikkan dan dijauhi oleh orang-orang yang menyucikan diri.

Ibnu Katsir berpendapat, ayat di atas menunjukkan bahwa orang musyrik itu najis sebagaimana ditegaskan dalam haits shahih,”Orang Mukmin itu tidak najis”. (HR Bukhari Muslim). Adapun najis badan, maka menurut jumhur, orang mukmin itu tidak najis fisik maupun non-fisik, mengingat, Allah saja masih menghalalkan makanan ahlul kitab bagi orang-orang mukmin. Tapi sebagian pengikut paham zahiriyah menajiskan badan orang mukmin. Hati mereka (para pengikut zahiriyah) telah kotor, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak hendak membersihkannya. Mereka telah tercebur ke dalam kotoran dan berkubang dalam najis.

Dengan demikian jelas sudah bahwa islam secara keseluruhan adalah kesucian, penyucian diri, dan pengembangan dan keutamaan. Siapa saja yang berpedoman padanya maka keimanan akan semakin jernih dan mendapatkan Nur dari Rabb-nya.
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk diberi petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah dia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”. (Al-An’am:125).

Wudhu termasuk penyucian diri

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:”Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih”. (At-Taubah:108).

Mandi dan tayamum bagian dari penyucian diri
Allah berfirman:”Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai siku, dan sapulah kepala kalian dan(basuh) kaki kalian sampai kedua mata kaki, dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah wajah kalian dan tangan kalian dengan tangan itu. Allah tidak hendak menyulitkan kalian, tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian, supaya kalian bersyukur”. (Al-Maidah:6)

Menjauhi istri pada saat haid dan nifas termasuk penyucian diri

Allah subhanahu wata’ala berfirman:”Mereka bertanaya kepadamu tentang haid. Katakanlah,’Haid itu adalah suatu kotoran’. Oleh karena itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanitapada waktu haid, dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. (Al-Baqoroh:53).

Penyucian anggota badan harus dibarengi dengan penyucian hati. Itulah sebabnya penyucian anggota badan diikuti dengan pemberian perlindungan kepada mereka dari godaan syetan dan peneguhan hati serta pengokohan pendirian. Hal ini terkanduing dalam firman-Nya:”Dan menghilangkan dari kalian gangguan-ganguan syaitan dan uuntuk menguatkan hati kalian dan memperteguh dengannya telapak kaki (kalian)”. (Al-Anfal:11).

Menyucikan hati telah dijelaskan dalm Al-Qur’an:”Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka”. (Al-Ahzab:53).
Sedangkan menyucikan anggota badan, firman-Nya:”Dan allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kalian dengan hujan itu”.(Al-Anfal:11)

Antara hati dan pakianpun ada kaitan,”Dan pakaianmu bersihkanlah”. (Al-Muddatstsir:4)
Ibnu Abbas mengemukakan:”Jangan engkau tutupi jiwamu dengan pakaian kemaksiatan dan hal yang menjijikkan”.
Bagaimanapun membersihkan pakaian dari kotoran dan meminimalkan kotoran yang mungkin melekat pada pakaian merupakan satu sekian perintah membersihkan pakaian. Karena pakaian yang bersih dapat menyempurnakan amalan dan perangai diri. Badan dan pakaian yang najis bisa menyebabkan batin menjadi najis. Itulah sebabnya mengapa kotoran yang menempel di pakaian atau badan harus segera dihilangkan dan dijauhi.

Shalat sebagai sarana penyucian diri

Shalat berfungsi menyucikan diri dan anggota badan dari perbuatan keji dan mungkar. Firman Allah:”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar”. (Al-Ankabut:45).

Sebab dalam shalat terdapat tiga perangai, yaitu ikhlas, rasa takut, dan dzikir kepada Allah. Ikhlas menyuruh kpeda kebaikan, rasa takuit mencegah diri diri dari kemungkaran, dan dzikir kepada Allah membuat cerdas jiwa.

Shalat adalah wujud kebersamaan dengan Allah sekaligus sebagai sarana berkomunikasi dengan-Nya, yang secara psikologis akan menciptakan perasaan malu bila saat bersama dengan-Nya masih saja melakukan dosa-dosa besar dan kekejian.

Shalat merupakan bentuk pelepasan diri. Dengan shalat (yang benar-red) jiwa tidak lagi berani melakukan kekejian dan kemungkaran.

Zakat merupakan saran penyucian dan pembersihan diri
Firman Allah Subhanahu wata’ala :”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu ( menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Mahamendengar lagi Mahmengetahui”. (At-Taubah:103).


Zakat fitrah merupakan bentuk penyucian diri bagi orang yang berpuasa dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna serta hal-hal yang tidak senonoh. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas ,”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyucian bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang tidak berguna, tindakan tidak senonoh dan memberi makan kepada orang-orang miskin.”(hadits Hasan)

Dengan demikian dapat diartikan, menginfakkan harta untuk mencari keridhoan Allah merupakan sarana untuk membersihkan, menyucikan, mengembangkan dan membenahi jiwa. Mengenai masalah ini Allah telah berfirman:”Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling taqwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (dijalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhoan Tuhannya yang Mahatinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapatkan kepuasan”.(Al-Lail:17-21).

Puasa sebagai sarana penyucian dan pembersihan diri

Firman Allah:”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Al-Baqoroh:183).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan bahwa puasa merupakan salah satu sebab pemberian ampunan, pembebasan dari neraka, dan masuk surga. Puasa adalah perisai, obat dan benteng dari hawa nafsu. Sebab puasa dapat mengagungkan jiwa, menindas dan memenjarakan hawa nafsu. Sehingga jiwa benar-benar terang dan tenteram.

Sumber : Ngajisalaf.net